Rabu, 19 Januari 2022

Another Love

 

Kututup laptop di depanku, merapikan letaknya, helaan napas terasa berat banyak nilai yang jelek, tapi ini harus aku jalani. Rasa kantuk kadang hadir, tapi demi dirinya aku memaksakan diri untuk terus berbakti. Melihat sekilas ke atas ranjang, sosok yang selalu menemaniku dengan cinta yang sungguh luar biasa.

Senyum manisku melihat dirinya menutup hampir seluruh tubuhnya dengan selimut tipis, maklum gajiku sebagai pegawai honor belum mampu membelikan bed cover nyaman untuknya, aku tertawa dalam hati, bagaimana membelikan bed cover sementara tempat tidur kami hanya dari tilam kapuk bukan bersize queen atau king seperti ukuran bed cover, apalagi kamar hanya dihiasi kipas angin cosmos bukan AC LG yang memerlukan bed cover.

Sekilas memandang ke arah jarum jam, sudah hampir pukul sebelas malam, pantas saja dia sudah terbang ke alam mimpi. Aku melangkahkan kaki mendekati dirinya, mengambil posisi nyaman untuk berlabuh di daratan mimpi.

***

Nyawaku belum terkumpul semua, tapi mata ini terpaksa aku buka.

“Bang, bangun sudah lewat sepuluh menit sholat subuhnya, nanti terlambat ke sekolah.” alunan kasih yang setiap hari aku dengar sejak mengucapkan ijab Kabul atas dirinya, hanya dia kini menjadi jam beker hidupku untuk membangunkan aku dalam tidur lelap dari penat yang melanda.

Sudah siap dengan alat perang, ransel berisi laptop dari masa kuliah serta perangkat lain untuk bertempur dimedan pendidikan.

Dari kamar sudah tercium bau harum nasi goreng buatannya, semakin mendekat bukan hanya harum nasi goreng tapi juga kopi pekat untuk mengusir rasa kantukku, dia selalu tahu yang terbaik buat diriku dimasa – masa ujian sekolah.

“Ini untuk bekal di sekolah Bang, ada serondeng ikan parang dari Mak.” Senyum yang selalu menghias bibirnya memberikan imun tersendiri buat diriku.

“Terima kasih say.” Ucapku dengan memberikan kecupan sikat di pipinya

Pipinya memerah walaupun kami sudah menikah hampir satu tahun, tapi efek ciuman pagi selalu membuatku tersenyum bangga, ya bangga karena aku mendapatkan cinta dari kembang kampungku.

“Hati – hati di jalan, licin jangan ngebut.” Ucapnya mengiringi kepergianku ke sekolah dengan vesva butut peninggalan ayah.

***

“Pagi semua, bagaimana masih semangat untuk belajar akuntansi hari ini.” Suaraku mengema di dalam kelas setelah kami berdoa bersama.

“Siap Pak.” Koor mereka menjawab pertanyaanku

Aku menyapu setiap sudut kelas, memberikan rasa bahwa aku adalah penguasa buat saat ini selama dua jam kedepan. Aku bukan guru yang kilir tapi“Pagi semua, bagaimana masih semangat untuk belajar akuntansi hari ini.” Suaraku mengema di dalam kelas setelah kami berdoa bersama.

“Siap Pak.” Koor mereka menjawab pertanyaanku

Aku menyapu setiap sudut kelas, memberikan rasa bahwa aku adalah penguasa buat saat ini selama dua jam kedepan. Aku bukan guru yang kilir tapi aku selalu menekankan displin dalam pembelajaranku, walaupun guru honor dan masih baru, anak didikku selalu hormat kepadaku.

Hari menjelang sore, walaupun tidak mengajar sampai jam terakhir aku selalu menyiapkan semua pekerjaan sekolah terlebih dahulu baru pulang, menghindari pekerjaan kebut semalam yang aku rasa sangat menyita tenaga dan menguras energy.

“Pak Ilham belum pulang.” Aku menoleh kepada suara lembut yang menyapaku

“Belum, Ayu kenapa belum pulang?” keningku berkerut melihat siswiku yang satu ini kenapa belum pulang padahal jam terakhir sudah dari dua jam yang lalu.

“Boleh ketemu dengan Bapak sebentar.” Sungguh aku terkejut luar biasa dengan perkataan siswiku ini.

Ya aku mengajar di sekolah menengah atas dengan siswa – siswi yang tidak terlalu jauh umurnya denganku bahkan ada di antara mereka yang lebih pantas menjadi adikku, karena jarak umur kami hanya 6 tahun.

“Ada perlu apa.” ucapku sambil membenahi semua barang yang akan aku masukkan dalam ransel yang selalu menemaniku ke sekolah.

Aku melihat Ayu menghampiri mejaku, dan duduk di kursi di depan mejaku, ada semu merah di wajah belianya.

Akhirnya aku duduk kembali, padahal tadi aku berdiri sambil mengemasi barang – barangku.

“Ada apa yu, sepertinya penting sekali.” Ucapku datar karena aku tidak ingin memberi hati kepada mereka, sikap tegas selalu aku tampakkan kepada mereka siswa – siswiku.

“Bapak sudah punya pacar?” Sungguh aku terkejut mendengar perkataannya, ada apa dengan siswi satu ini batinku.

“Saya rasa itu bukan urusan Ayu. Pulanglah, saya juga mau pulang” Ucapku tegas

Tanpa apa aba – aba aku melihat nerta Ayu yang meneteskan air, berdiri dan berlari dari hadapanku, ada apa dengan anak itu, pikirku. (Bersambung)

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Gapai Cita dalam (Duka) Cinta

  Adik Abah yang dulu tinggal bersama kami sudah lebih sepuluh tahun merantau sejak menamatkan sekolah menegah atas hari ini duduk di ruang ...