Lelah aku berlari tapi akhirnya aku tetap di sini merasakan rasa yang sangat menyesakkan dada dan akhirnya aku harus merasakan kecewa yang sangat mengoyak serta darah luka yang hanya aku nikmatinya.
Namaku bukan larasati tapi hatiku sakit karena pengkhianatannya. Dua puluh lima tahun seharusnya aku menikmati cangkir cinta tapi bukan hangatnya dinginnya cinta karena kau tidak menerimaku karena alasan aku bukan pilihan hatimu, tapi pilihan kedua orangtuamu.
Titik tidak ada koma, kau tidak
menerimaku karena aku dipaksakan oleh mereka orangtua kita, percuma persahabatn
yang sudah sejak zaman putih biru, aku tahu ada rasa gengsi mengakuiku aku
bertahta di hatimu. Tidak ada persahabatan antara wanita dan pria yang murni
karena persahabat aku mengakuinya tapi karena ingin menghormati dirimu, aku
masih bertahan dengan persahabat kita yang sudah lebih dari cukup.
Ketika akhirnya aku menjadi jodohmu yang
dijodohkan oleh keluarga aku berivoria bahwa kau akan menerimanku bukan menolak
seperti yang kau lakukan saat ini.
“Sah.” Gema suara diruang tengah rumah
orangtuaku karena kau melafazkan ijab atas diriku dengan satu kali napas
rupanya hanya sandiwara untuk menutupi rasa benci karena kita dijodohkan.
Tamu sudah pulang, lelah tubuh karena
dari pagi hingga ke petang menjadi ratu sehari kini bertambah lelah ketika
dengan kesadaran penuh kau menolakku, dengan alasan yang sungguh diluar nalar
pemikiran.
“Kita hanya bisa sebatas teman saja,
tidak lebih. Kita menikah hanya untuk
tidak membuat orangtua kita kecewa, biarkan kita seperti sebelum menikah
sahabat yang saling mendukung.” Ucapan yang sungguh tidak bisa aku nalar
sedikitpun.
Malam ini kita tidur bagaikan dua orang
yang hanya terjebak dalam situasi yang mengharuskan kita bersama dalam satu
ruangan.
Aku malas untuk berdebat, tidak ada lagi
kata sahabat. Sahabat tidak akan menyakitkan hati sahabatnya, tapi kau yang
mengaku sahabat malah melukai diriku teramat dalam.
Akhirnya aku harus mengakui jika cintaku
bertepuk sebelah tangan, karena tanganmu kau tarik sebelum kita bersatu untuk
bertepuk tangan.
***
Kebiasanku bangun satu jam sebelum
subuh, untuk mengadu kepadanya yang dulu selalu minta dirimu mencintaiku, saat
tidak lagi, aku bermunajat mempasrahkan diriku meminta jalan keluar dari sakit
yang teramat sangat, karena penolakkanmu.
Subuh sudah berlalu, tapi kau masih
betah dalam mimpi indahmu dengan tidak memasukkan aku dalam mimpimu, apakah aku
harus membangunkanmu. Tergiang di teligaku bagaimana kau dengan tegas
mengatakan kita akan berjalan sendiri – sendiri, jangan mencampuri urusan
masing – masing.
Menolehmu, dan melanjutkan langkahku
menuju keluar kamar, hiruk pikuk ruang tengah baru saja dimulai, semua kerabat
membenahi semua bekas pernikahan kita. Sebentar lagi pasti WO akan datang untuk
mengangkut semua barang mereka.
Langkahku terhenti ketika melihat
sepupuku mencari moment untuk berfoto ria di pelaminan sebelum semua itu dibuka
dan tidak menyisakan apa – apa, hanya pernikahan yang membuat kita seperti
orang asing.
“Wi, sudah bangun mana suamimu?” teguran
bunda menyesakkan dada, dia tidak mau ku sebut suami, hatiku berdarah mengingat
itu.
“Ihsan masih tidur.” Bun
“Sudah subuhkan?” sahut bunda lagi
Ada keraguan untuk menjawab pertanyaan
Bunda, jika aku mengatakan belum, pasti bunda marah kenapa tidak membangunkan
Ihsan, jika mengatakan sudah berarti aku sudah berbohong kepada Bunda.
“Maaf bu, telat.” Suara Ihsan terdengar
Aku dan bunda serentak menoleh ke arah
pintu kamarku ditempat sekarang Ihsan berdiri. Wajahnya segar, tercium aroma
shampho dan wangi sabun dari dirinya.
Aku memalingkan muka, tidak tahan
melihat dirinya ada banyak dusta yang akan kami tontonkan karena permintaanya
yang tidak masuk akal.
Aku mengingat sekilas percakapan kami
tadi malam.
“Wi, di depan orangtua kita, kita harus
bersandiwara untuk menyenangkan mereka, sampai batas mereka mengetahui tidak
ada cinta di antara kita, kita akan berpisah dengan baik – baik. Kamu setujukan
dewi.” Bagaikan mendengar petir disiang bolong mendengarkan ucapan Ihsan.
“Jika tidak ada keturunan di antara kita
selama dua tahun, aku yakin Ibu dan Bunda akan meminta kita berpisah.” Sekali
lagi ucapan Ihsan melukai harga diriku.
“Dewi, sana ajak Ihsan sarapan dulu.”
Ucapan Bunda memecah lamunanku.
Aku berjalan menuju dapur tanpa
memperdulikan Ihsan yang sekarang mengekor diriku, Ihsan sudah biasa di
rumahku, rumah kedua katanya ketika kami masih menjalin tadi persahabatan.
Aku menghentikan langkah di meja makan,
ada nasi lemak, ada roti prata dan makan sisa dari acara pernikahan kami, aku
memandangnya lemah, tidak ada selera.
Sekilas aku memandang ke arah Ihsan yang
sudah berada di seberang meja makan menghadap ke arahku.
“Aku tidak selera, kamu makan saja
sendiri.” Ucapkan sambil berbalik arah mau menuju kamar kembali.
“Wi, jangan memancing kerusuhan, apa
kata bunda jika kita tidak sarapan bersama.” Netramu menatapku tajam.
Aku tidak jadi melangkah, membalikkan
arah menatap tajam ke arah Ihsan, menuang teh ke dalam gelas dan mengambil nasi
lemak berserta kawan – kawanya.
“Wi, mana untuk Ihsan, bukannya
menyiapkan untuk suami malah makan sendiri.” Aku melihat bunda yang
menceramahiku
“Ihsan bisa ambil sendiri bunda, diakan
sudah biasa di rumah kita.” Ucapku santai sambil menerukkan menyuap makananku
ke dalam mulut.
“Ihsan, Ihsan dia sudah menjadi suamiku,
jangan panggil Ihsan lagi. Sekarang Ihsan bukan sahabatmu lagi tapi suami,
ingat itu Dewi. Bunda lebih tenang setelah kamu menikah dengan Ihsan daripada
lelaki yang kami tidak kenal budi pekertinya.” Ocehan bunda menyudutkanku
Dengan kesal aku meninggalkan makananku
yang belum sempurna aku makan
“Kami akan bercerai secepatnya.” Ucapku
tegas sambil menyusut sudut netraku yang sudah basah.
Aku tidak memperdulikan semua netra
keluarga besar yang masih berbenah di ruang tengah yang dijadikan pelaminan
pernikahanku, terus berlari menuju pintu depan, mengambil motor matic
kesayanganku, menghidupkanya dan terus berjalan menjauhi rumah yang sejak malam
tadi membuatku sesak serta menyakiti jantung dan hatiku.
***
Netraku makin perih sudah lebih dua jam
aku menangis, laut seakan penuh dengan air mataku. Pandanganku lepas tapi
hatiku terkurung dalam sakit yang teramat dalam, menghela napas berat sudah
hampir zhuhur, aku membersihkan pakainku yang kena pasir pantai, berjalan
menuju motor maticku mencari masjid terdekat.
Lama aku berdiam diri di dalam masjid
setelah memanjatkan doa, jam dinding masjid sudah menunjukkan angka dua siang,
jika tidak pulang aku mau kemana. Pagi tadi aku tidak sempat membawa apa – apa,
untung saja pantai di kampungku tidak perlu membayar untuk masuk. Saking
kecewanya aku dengan Ihsan semuanya tertinggal di rumah.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar