Senin, 24 Januari 2022

Cinta Sahabatku

 

Lelah aku berlari tapi akhirnya aku tetap di sini merasakan rasa yang sangat menyesakkan dada dan akhirnya aku harus merasakan kecewa yang sangat mengoyak serta darah luka yang hanya aku nikmatinya.

Namaku bukan larasati tapi hatiku sakit karena pengkhianatannya. Dua puluh lima tahun seharusnya aku menikmati cangkir cinta tapi bukan hangatnya dinginnya cinta karena kau tidak menerimaku karena alasan aku bukan pilihan hatimu, tapi pilihan kedua orangtuamu.

Titik tidak ada koma, kau tidak menerimaku karena aku dipaksakan oleh mereka orangtua kita, percuma persahabatn yang sudah sejak zaman putih biru, aku tahu ada rasa gengsi mengakuiku aku bertahta di hatimu. Tidak ada persahabatan antara wanita dan pria yang murni karena persahabat aku mengakuinya tapi karena ingin menghormati dirimu, aku masih bertahan dengan persahabat kita yang sudah lebih dari cukup.

Ketika akhirnya aku menjadi jodohmu yang dijodohkan oleh keluarga aku berivoria bahwa kau akan menerimanku bukan menolak seperti yang kau lakukan saat ini.

“Sah.” Gema suara diruang tengah rumah orangtuaku karena kau melafazkan ijab atas diriku dengan satu kali napas rupanya hanya sandiwara untuk menutupi rasa benci karena kita dijodohkan.

Tamu sudah pulang, lelah tubuh karena dari pagi hingga ke petang menjadi ratu sehari kini bertambah lelah ketika dengan kesadaran penuh kau menolakku, dengan alasan yang sungguh diluar nalar pemikiran.

“Kita hanya bisa sebatas teman saja, tidak lebih. Kita  menikah hanya untuk tidak membuat orangtua kita kecewa, biarkan kita seperti sebelum menikah sahabat yang saling mendukung.” Ucapan yang sungguh tidak bisa aku nalar sedikitpun.

Malam ini kita tidur bagaikan dua orang yang hanya terjebak dalam situasi yang mengharuskan kita bersama dalam satu ruangan.

Aku malas untuk berdebat, tidak ada lagi kata sahabat. Sahabat tidak akan menyakitkan hati sahabatnya, tapi kau yang mengaku sahabat malah melukai diriku teramat dalam.

Akhirnya aku harus mengakui jika cintaku bertepuk sebelah tangan, karena tanganmu kau tarik sebelum kita bersatu untuk bertepuk tangan.

***

Kebiasanku bangun satu jam sebelum subuh, untuk mengadu kepadanya yang dulu selalu minta dirimu mencintaiku, saat tidak lagi, aku bermunajat mempasrahkan diriku meminta jalan keluar dari sakit yang teramat sangat, karena penolakkanmu.

Subuh sudah berlalu, tapi kau masih betah dalam mimpi indahmu dengan tidak memasukkan aku dalam mimpimu, apakah aku harus membangunkanmu. Tergiang di teligaku bagaimana kau dengan tegas mengatakan kita akan berjalan sendiri – sendiri, jangan mencampuri urusan masing – masing.

Menolehmu, dan melanjutkan langkahku menuju keluar kamar, hiruk pikuk ruang tengah baru saja dimulai, semua kerabat membenahi semua bekas pernikahan kita. Sebentar lagi pasti WO akan datang untuk mengangkut semua barang mereka.

Langkahku terhenti ketika melihat sepupuku mencari moment untuk berfoto ria di pelaminan sebelum semua itu dibuka dan tidak menyisakan apa – apa, hanya pernikahan yang membuat kita seperti orang asing.

“Wi, sudah bangun mana suamimu?” teguran bunda menyesakkan dada, dia tidak mau ku sebut suami, hatiku berdarah mengingat itu.

“Ihsan masih tidur.” Bun

“Sudah subuhkan?” sahut bunda lagi

Ada keraguan untuk menjawab pertanyaan Bunda, jika aku mengatakan belum, pasti bunda marah kenapa tidak membangunkan Ihsan, jika mengatakan sudah berarti aku sudah berbohong kepada Bunda.

“Maaf bu, telat.” Suara Ihsan terdengar

Aku dan bunda serentak menoleh ke arah pintu kamarku ditempat sekarang Ihsan berdiri. Wajahnya segar, tercium aroma shampho dan wangi sabun dari dirinya.

Aku memalingkan muka, tidak tahan melihat dirinya ada banyak dusta yang akan kami tontonkan karena permintaanya yang tidak masuk akal.

Aku mengingat sekilas percakapan kami tadi malam.

“Wi, di depan orangtua kita, kita harus bersandiwara untuk menyenangkan mereka, sampai batas mereka mengetahui tidak ada cinta di antara kita, kita akan berpisah dengan baik – baik. Kamu setujukan dewi.” Bagaikan mendengar petir disiang bolong mendengarkan ucapan Ihsan.

“Jika tidak ada keturunan di antara kita selama dua tahun, aku yakin Ibu dan Bunda akan meminta kita berpisah.” Sekali lagi ucapan Ihsan melukai harga diriku.

“Dewi, sana ajak Ihsan sarapan dulu.” Ucapan Bunda memecah lamunanku.

Aku berjalan menuju dapur tanpa memperdulikan Ihsan yang sekarang mengekor diriku, Ihsan sudah biasa di rumahku, rumah kedua katanya ketika kami masih menjalin tadi persahabatan.

Aku menghentikan langkah di meja makan, ada nasi lemak, ada roti prata dan makan sisa dari acara pernikahan kami, aku memandangnya lemah, tidak ada selera.

Sekilas aku memandang ke arah Ihsan yang sudah berada di seberang meja makan menghadap ke arahku.

“Aku tidak selera, kamu makan saja sendiri.” Ucapkan sambil berbalik arah mau menuju kamar kembali.

“Wi, jangan memancing kerusuhan, apa kata bunda jika kita tidak sarapan bersama.” Netramu menatapku tajam.

Aku tidak jadi melangkah, membalikkan arah menatap tajam ke arah Ihsan, menuang teh ke dalam gelas dan mengambil nasi lemak berserta kawan – kawanya.

“Wi, mana untuk Ihsan, bukannya menyiapkan untuk suami malah makan sendiri.” Aku melihat bunda yang menceramahiku

“Ihsan bisa ambil sendiri bunda, diakan sudah biasa di rumah kita.” Ucapku santai sambil menerukkan menyuap makananku ke dalam mulut.

“Ihsan, Ihsan dia sudah menjadi suamiku, jangan panggil Ihsan lagi. Sekarang Ihsan bukan sahabatmu lagi tapi suami, ingat itu Dewi. Bunda lebih tenang setelah kamu menikah dengan Ihsan daripada lelaki yang kami tidak kenal budi pekertinya.” Ocehan bunda menyudutkanku

Dengan kesal aku meninggalkan makananku yang belum sempurna aku makan

“Kami akan bercerai secepatnya.” Ucapku tegas sambil menyusut sudut netraku yang sudah basah.

Aku tidak memperdulikan semua netra keluarga besar yang masih berbenah di ruang tengah yang dijadikan pelaminan pernikahanku, terus berlari menuju pintu depan, mengambil motor matic kesayanganku, menghidupkanya dan terus berjalan menjauhi rumah yang sejak malam tadi membuatku sesak serta menyakiti jantung dan hatiku.

***

Netraku makin perih sudah lebih dua jam aku menangis, laut seakan penuh dengan air mataku. Pandanganku lepas tapi hatiku terkurung dalam sakit yang teramat dalam, menghela napas berat sudah hampir zhuhur, aku membersihkan pakainku yang kena pasir pantai, berjalan menuju motor maticku mencari masjid terdekat.

Lama aku berdiam diri di dalam masjid setelah memanjatkan doa, jam dinding masjid sudah menunjukkan angka dua siang, jika tidak pulang aku mau kemana. Pagi tadi aku tidak sempat membawa apa – apa, untung saja pantai di kampungku tidak perlu membayar untuk masuk. Saking kecewanya aku dengan Ihsan semuanya tertinggal di rumah.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Gapai Cita dalam (Duka) Cinta

  Adik Abah yang dulu tinggal bersama kami sudah lebih sepuluh tahun merantau sejak menamatkan sekolah menegah atas hari ini duduk di ruang ...