Minggu, 16 Januari 2022

Sekeping Hati

 

Hm hembusan keras melewati hidungku terasa panas, badan yang dari kemaren sudah tidak nyaman ditambah lagi dengan keadaan sekarang yang mengoyak dada sungguh berar terasa. Mengenang kembali bagaimana kisah ini bermula semuanya terasa manis tak ada celah untuk rasa pahit mencampurinya sehingga aku terlena dalam jebak yang akhirnya membuat hati yang susah payah aku tata harus kembali merasakan kepingan puzzle yang tidak beraturan.

Hentakan suara langkah kaki mengema, aku berusaha menenangkah hati, harus hari ini tidak ada lagi hari besok, aku tidak boleh lemah harus kuat sekuat baja, batinku melirih.

“Assalamualaikum istriku.” Bariton berat yang selalu membuatku merasa bahagia tapi tidak sekarang aku merasa suara itu bagaik petir yang mengoyak siang yang damai.

“Walaikumsallam.” Ucapku lemah tidak seperti biasanya ada kata suamiku mengimbangi kata istri yang terucap dari bibir tipis miliknya.

“Hmm, jangan bilang marah lagi, apa lagi yang salah? Ucapnya sambil mengelus pucuk kepalaku yang tertutup jilbab instan.

“Kita perlu bicara Bang.” Aku menatap lekat netra hitam legam yang mengandung sejuta misteri yang terkuak sejak dua hari lalu.

“Besok saja, Abang lelah, mau istirahat, boleh istriku sayang?” suara yang dibuat lelah dan tatapan mata yang mengisyaratkan dia mau mengundur waktu.

“Harus sekarang Bang.” Suaraku naik satu oktap tidak bisa menahan semua yang selama dua hari ini kamu pendam dan menyesakkan dada.

Hempasan badan di sampingku, legan kokohnya memcoba memeluk badanku, tapi aku mengelak dengan berdiri dan menjauh darinya.

“Katanya mau bicara, kenapa malah menjauh?” suara yang dibuat – buat merajuk sambil tangan melambai memintaku kembali kesamping dirinya.

“Siapa Intan?” ucapku dengan sakit yang mengoyak dada, netra tajam setajam mata elang mengincar mangasanya.

“Intan? Intan yang mana?” kesal aku dibuatnya bukan menjawab malah bertanya dengan pura – pura lupa, munafik kau Bang.

Aku mengulurkan gawaiku, memperlihatkan dirinya lagi memeluk mesra wanita dengan mesra, tapi aku tidak melihat keterkejutan dari netra hitam bak batu granit.

“Oh, dia. Adiknya Anton, baru pulang dari Yogya setelah wisuda S1-nya. Jangan cemburu, tidak baik.” Ucapnya santai

“Adik Anton, tapi kata Inta abang calon suaminya.” Ucapku ketus

“uhuk.” Suara tersedak airliurnya sendiri Bang Ian.

“Kapan bertemu Intan?” ada nada yang berbeda dari suara Bang Ian.

“Intanya baru saja pulang tadi, katanya mau jadi yang ke dua, asal aku mengizinkan Abang menikah denganya.” Sakit, sungguh sakit mengulang apa yang diucapkan Intan kepadaku.

Lama kami terdiam, Bang Ian kelihatan bigung, netraku sudah panas berapi ingin membakar dirinya tapi aku harus sabar, masih ada Ibu dan Ayah di rumah ini.

Bang Ian menantu kesayangan mereka, umur pernikahan kami baru seumur jagung, enam bulan tapi sudah ada pihak ketiga yang minta suami terang – terangan, datang sendiri lagi mengajukan dirinya sebagai madu, keterlaluan.

“Kenapa diam Bang, punya niatan untuk menduakanku.” Kelamaan menunggu kata dari Bang Ian aku jadi emosi.

“Dijelaskan juga percuma kalau Mayang lagi emosi, jawab saja sendiri dengan memikirkan sikap Abang selama ini sama Sayang.” Berdiri meraihku dalam pelukkannya, tapi aku berusaha menjauh tapi ujung jilbab instanku sempat diraihnya. Membuatku berhenti dari menghindar.

“Dosa lho menghindari suami.” Akhirnya aku pasrah dalam peluknya

“Sayang, bersumpah bukan arti semuanya akan baik – baik saja, yang penting kepercayaan antara kita berdua, selama Mayang percaya sama Abang hanya Mayang satu istri Abang. Walaupun Abang bukan ustaz tapi Abang tahu mana yang baik dan tidak untuk pernikahan kita.

“Terus ini apa?” ucapku sambil memutar video yang berdurasi 2 menit, percakapan bang Ian yang menyatakan sayang, di sana Ada Intan dan Anton yang katanya abang Intan.

“Mayang percaya dengan video yang dua menit durasinya daripada apa yang Abang ucapkan.” Sekali lagi pertanyaanku dijawab dengan pertanyaan oleh Bang Ian.

“Mayang hanya ada sekeping hati, hati ini rapuh jika sudah menyangkut pernikahan dan janji Abang untuk menjaganya hanya untuk kita berdua.” Lirihku sambil mengusap air yang dengan kurang ajarnya keluar padahal sudah dari tadi aku menahan dengan segala kekuatan yang tersisa setelah bertemu dengan Intan tadi.

“Jangan menangis, masih panjang perjalanan kita. Jadikan ini satu ujian kecil untuk saling percaya. Intah dari kecil selalu mengatakan akan menjadi istri Abang, tapi itu emosi labil dirinya. Video yang Mayang lihat adalah pernyataan Abang hanya mencintai Sayang saja. ji ka digunakan Intan untuk memperkeruh keadaan Bang tidak bisa beralibi lain.” Ada kesungguhan dalam ucapan Bang Ian. Aku segukan dalam peluk hangatnya.

“Bang tolong jaga sekeping hati milim Mayang, jika pecah dan berderai akan sulit untuk merangkainya kembali.” Ucapku sungguh – sungguh sambil mengeratkan pelukkanku pada dirinya. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Gapai Cita dalam (Duka) Cinta

  Adik Abah yang dulu tinggal bersama kami sudah lebih sepuluh tahun merantau sejak menamatkan sekolah menegah atas hari ini duduk di ruang ...