Senin, 31 Januari 2022

Gedung itu

 


Napasku tersengal, lari membuatku harus merasakan sesak di dada. Terengah – engah aku dibuatnya, untung saja aku tidak terlambat. Netra pak satpam membuatku tersenyum kecut, ini sudah yang ke tiga kalinya dalam minggu ini aku hampir terlambat masuk sekolah.

Ingatanku melayang bagaimana kabar Ayah yang terbaring lemah di dipan tadi pagi, mendengar ocehan emak yang sudah seperti drum kosong yang dipukul anak – anak nakal di siang hari, yang selalu kena omel ibu RT karena drum itu didepan rumahnya untuk menampung sampah – sampah warga sebelum diangkut tim kebersihan kota.

Emak bukannya kasihan melihat Ayah terbaring lemah karena sakit, malah mengomel , menjerit di teliga kami semua karena beras, minyak dan banyak lagi barang dapur yang habis sebelum bulan berganti. Sudah hampir satu purnama Ayah tergeletak di depan tak berkasur hanya beralaskan tikar pandan yang kami punya. Satu – satunya kasur tipis saat ini dipakai oleh adikku bontotku yang juga sakit karena asma yang dideritanya.

Lemparan spidol mengangetkanku, lamunan tentang rumah membuatku mengabaikan sosok Bu Tri wali kelasku yang sedang mengajar. Aku mengambil spidol yang terjatuh dekat rokku setelah dengan sempurna menyetuh kepalaku yang tertutup jilbab putih lusuh yang tidak putih bersih lagi. 

Dengan malu aku mengantar spidol ke depan kelas, netra Bu Tri menatapku garang.

“setelah pulang sekolah ketemu dengan saya di majelis guru”  Ucap Bu Tri penuh penekanan menandakan dirinya marah kepadaku.

Aku berlalu dari hadapan Bu Tri, menundukkan kepala tidak berani menatap teman – temanku, pasti mereka lagi mentertawakan diriku saat ini.

***

Lonceng tanda bubar sekolah telah berbunyi, semua kami bertaburan menuju parkir ataupun menunggu jemputan.

Aku melangkahkan kaki menuju gerbang sekolah dengan segala yang berkecamuk di dada setelah tadi sebelum pulang menemui Bu Tri dan mendengarkan ceramahnya yang panjang lebar, seandainya aku bisa menceritaka carut marut rumahku mungkinkah Bu Tri akan menjadi iba padaku, tapi pikiran itu aku buang jauh. Tidak, aku tidak mau dikasihani oleh Bu Tri atau siapapun juga.

Akhirnya dengan segala kekuatan aku sampai juga di rumah, lumayan juga kakiku masih bisa dibawa untuk berjalan sejauh satu kilo, air air teriakku dalam dada karena aku tidak punya kekuatan untuk meneriaki aku butuh air sekarang juga.

Lututku langsung lemas, tidak ada siapa – siapa kemana perginya Ibu, batinku.

(bersambunng)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Gapai Cita dalam (Duka) Cinta

  Adik Abah yang dulu tinggal bersama kami sudah lebih sepuluh tahun merantau sejak menamatkan sekolah menegah atas hari ini duduk di ruang ...