Entahlah aku tidak tahu, apakah ini yang dikatakan cinta buta. Aku
melihat semua kelemahan pada Aditya, tapi aku selalu berkata pada hatiku aditya
pasti akan berubah perlahan – lahan aku akan mengajarkan Aditya cara untuk
menghargai waktu. Seperti aku yang sudah di didik oleh ayah ibuku untuk selalu
menghargai waktu.
Kalau diingat kembali, saat pertama kali aku berjumpa dengan Aditya. Aku
seharusnya sudah tahu laki – laki yang bernama Aditya ini adalah orang yang
tidak tepat waktu. Undangan untuk menghadiri seminar sudah jelas tertulis jam
7.30, acara seremonial untuk seminar sudah satu jam yang lalu. Kami peserta seminar
sedang mendengarkan penjelasan dari pemateri dengan serius, tiba – tiba sesosok
laki – laki dengan menghendap duduk di sampingku. Pantas saja kursi disebelahku
kosong, aku pikir orangnya tidak bisa hadir disebabkan sesuatu yang tidak bisa
ditinggalkanya.
Sambil berbisik laki – laki yang baru saja datang berkata “ namaku
Aditya, belum masuk materi yang beratkan,” lelaki yang bernama Aditya itu
menolehkan mukanya dan menatapku. Mau tidak mau aku melihat kepadanya dan
berkata “ menurutku materi yang disampaikan sudah dari tadi inti seminar ini,
maksud anda dengan materi berat saya tidak mengerti? Aku balik bertanya.
Aku meletakkan jariku di mulutku, menandakan aku tidak mau diganggu
dengan pertanyaan yang menurutku tidak penting dari laki – laki yang baru saja duduk
disebelahku. Untungnya isyarat yang ku berikan memberikan efek langsung kepada
lelaki tersebut, selama satu setengah jam kedepan aku tidak melihat lelaki tadi
mengeluarkan suara dari mulutnya. Lelaki yang duduk disebelahku memperhatikan
pemateri memberikan penjelasan di depan sana.
Jam 10.30 coffeebreak, waktunya kami peserta seminar untuk meluruskan
kaki dan badan setelah hampir dua jam setengah duduk mendengar isi seminar.
Kami dipersilakan oleh panitia untuk menikmati makanan kecil beserta kopi dan
the.
Belum sempat aku berdiri sempurna
dari kursiku, lelaki yang duduk disebelahku mengulurkan tangan sambil
mengucapkan kata “ perkenalkan namaku Aditya, aku dari Tanjung pinang.
“ Anda dari mana, lucu rasanya jika kita tidak saling kenal. Selama satu
hari kita akan duduk berdampingan,” katanya lagi.
Aku tidak mau dibilang sombong, sambil mengulurkan tangan aku menyebutkan
namaku “ Aisyah, dari Karimun,”
Pantas saja anda tidak terlambat, pasti anda sudah dari kemarin ada di
Batam. Tanpa aku bertanya Aditya mengatakan alasan keterlambatanya menghadiri
seminar ini.
“ Aku malas untuk menginap di Batam, dari Pinang ka nada kapal pagi.
Paling aku terlambat sebentar. Aku kira itu tidak menjadi masalah” katanya
lagi.
Aku hanya tersenyum mendengar penjelasanya, kami keluar ruangan bersama
dan menghabiskan coffeebreak bersama juga.
Aditya lelaki yang cukup simpatik menurutku, biasanya aku agak susah
untuk cepat akrab dengan orang yang baru ku kenal.
Seminar kali ini, tidak sama dengan seminar sebelumnya, mungkin ada
Aditya yang sering mengisi seminar dengan kata – kata lucunya yang
menghilangkan rasa kantukku.
Tanpa terasa seminar sudah usai, jam tanganku menunjukkan jam 16.30 aku
harus bergegas untuk ke pelabuhan. Kapalku akan berangkat ke karimun tepat jam
17.00 nanti. Aditya menawarkan jasa untuk mengantar ku kepelabuhan, selama
perjalanan kepelabuhan yang memakan waktu 10 menit tidak terasa.
Kapalku tepat waktu 17.00 sudah bergerak meninggalkan pelabuah hourbay
batam, aku duduk di salah satu kursi penumpang, karena melihat tidak banyak
penumpang aku mencari tempat yang di sebelahku yang aku pastikan tidak ada yang
akan duduk. Aku sengaja mencari tempat seperti itu untuk melihat WA ku, karena
dari aku membeli tiket kapal sampai menuju kapal aku mendengar nada notifikasi
beberapa kali berbunyi. Pasti ada yang mewahstapp ku, setelah yakin tidak ada
yang akan duduk disampingku, aku membuka handphone ku.
Ternyata benar ada beberapa pemberitahuan yang ku terima, pertama dari
ibu yang menanyakan apakah aku tidak ketinggalan kapal. Jika ketinggalan kapal
aku bisa menginap dirumah saudaraku. Ibu sudah menelpon Mak Ngah ku memberitahukan jika aku tidak
terkejar kapal tolong di jemput dan menginap semalam di rumah Mak Ngahku. (adik
ibuku yang nomor 3)
Aku langsung menelepon ibu, “ Assalamualaikum, Aisyah sudah dikapal bu,
kapal sudah jalan 10 menit yang lalu,” aku menjelaskan kepada ibu.
“ Alhamdulillah, jam 18.20 ibu akan meminta adikmu untuk menjemputmu ke
pelabuhan,” ku dengar suara ibu di seberang sana.
“ Terima kasih ibu, Aisyah tutup telponya ya. Sambil mengucapkan salam.”
Aku melihat ke pesan ke dua, aku meneliti nomor pengirim. Karena tidak
ada nama yang tertera pada pesan ini. Aku menekan isi pesan, aku membaca teks
yang tertulis di pesan.
“ Sudah mendapatkan tempat diduduk dikapal Aisyah, ini nomor teleponku.
Mudah – mudahan kita bisa menjadi teman walaupun tidak lagi mengikuti seminar,
tulis Aditya.
Aku tersenyum membaca pesan yang dibuat oleh Aditya, ternyata dia tidak
seperti yang ku duga.
Sudah beberapa kali aku mengikuti seminar, dan sudah beberapa kali
berkenalan dengan peserta laki – laki. Saling bertukar nomor telpon, berjanji
akan menelpon tapi tidak ada yang pernah menepati janjinya untuk menelepon
kembali.
Aku tidak merasa memberikan nomor telephonku kepada Aditya, aku melihat
ada pesan satu lagi dari Aditya, aku membacanya “ Maaf aku mendapatkan nomor
teleponmu sewaktu mengisi daftar hadir tadi, selama seminar Asiyah tidak banyak
berbicara aku yang lebih banyak berbicara.”
Pesan kedua ini menjawab pertanyaan ku darimana Aditya mendapatkan nomor
telephonku. Aku hanya tersenyum, dalam hati aku berkata, “ Besok juga sudah
lupa.”
Aku menutup handphoneku, karena tidak ada lagi pesan yang harus ku baca.
Untuk mengusir kantuk yang sedari tadi sudah mengantung di mataku, aku
memejamkan mataku, lumayan satu jam aku bisa tidur.
Kapal berjalan tidak terasa, bunyi pemberitahuan oleh awak kapal
membangunkanku.
“ kapal sudah memasuki pelabuhan Tanjung Balai, bagi penumpang diharapkan
untuk bersiap – siap turun. Pasti barang anda tidak ada yang tertinggal.”
Aku meluruskan pinggang dengan berdiri ditempat dudukku, memastikan semua
barang bawaan ku tidak ada yang tertinggal di kapal. Aku duduk kembali, karena
kapal masih harus bersandar di pelabuhan. Ini akan memakan waktu sekita lima
belas minit. Aku tidak pernah mau terburu – buru untuk turun dari kapal seperti
yang dilakukan oleh penumpang lain. Kapal tidak akan berangkat kemana – mana,
daripada berdesak –desak turun, lebih baik santai karena ini pelabuhan terakhir
kapal hari ini.
Kadang – kadang heran aku dengan penumpang yang menaiki kapal, setiap ada
pengumuman kapal akan sampai ditempat tujuan, pasti berdesak – desakan untuk
turun duluan seperti kapal akan langsung berangkat sehingga tidak bisa turun.
Aku mengatur langkah setelah melihat penumpang yang didepan sudah tidak
berdesakan lagi, menuju pintu keluar kapal. Alhamdulillah, aku sudah sampai
kataku dalam hati.
Berjalan menuju poton, aku melihat adikku sudah menunggu. Aku melambaikan
tangan kearah adikku.
Beberapa hari sudah berlalu, aku hampir lupa dengan Aditya. Aku sudah
disibukkan dengan kerja kantor yang membutuhkan perhatianku.
Siang ini, jam makan siang aku melihat
pesan dari nomor Aditya mengirim pesan. Aku membuka pesan yang masuk ke
handphone ku, dan membacanya “ Assalamualikum, Aisyah apakabar? Maaf menganggu
makan siangnya, tapi aku tidak bisa menunggu lama lagi. Sudah beberapa hari ini
tidak bisa makan siang karena tidak ada kabar dari Aisyah. Aisyah belum
menjawab pertanyaanku apakah kita bisa berteman?”
Aku hampir melupakan yang namanya Aditya, kenalan baru sewaktu mengikuti
seminar di Batam. Aku memutuskan untuk menjawab pesan dari Aditya ini.
“ Walaikumsalam, maaf. Sewaktu membaca pesan pertama dari Aditya, kapal sudah
berjalan dan hilang sinyal. Sesampai di rumah, Asiyah langsung bersih – bersih
dan sholat, karena kepenatan Aisyah langsung tidur. Besoknya sudah kerja
kembali, maaf kalau terlupa akan pesan dari Aditya” aku mengirim balasan untuk Adiyta.
Bunyi pesan masuk terdengar lagi, ku buka dan ku baca “ Aisyah belum
menjawab pertanyaan Aditya, bisakah kita berteman ?”
Aku berpikir sejenak tidak ada salahnya punya teman banyak, aku membalas
pesan Aditya.
“ Selama Aditya merasa tidak keberatan untuk menjadi kawan Aisyah, Aisyah
tidak akan memutus silaturahmi. Silaturahmi itu penting untuk memperpanjang
umur.” Tulisku.
Semejak siang itu, Aditya dua hari sekali
berkirim pesan kepadaku. Percakapan yang kami bincangkan seputar
pekerjaan masing – masing, sebulan kemudian pesan yang ku terima selalunya dua
hari sekali, berganti menjadi satu hari sekali.
Aku agak risih dengan pesan yang datang setiap hari, pasti ada apa –
apanya pikirku, akhirnya aku berpikir untuk menghentikan pesan setiap hari ini
dengan cara yang halus.
Pada hari kesepuluh setelah menerima pesan setiap hari, aku menulis pesan
kepada Aditya dengan bunyi pesan:
“ Assalamualaikum, maaf beberapa
hari kedepan Aiysah tidak bisa membalas pesan Aditya. Ada banyak pekerjaan
kantor yang harus Aisyah selesai karena mengejar target.”
Aditya membalas pesanku singkat “ Ok, Aditya mengerti.”
Aku bernapas lega, belum sempat aku meletakan telponku ke meja. Aku
melihat ada yang meneleponku. Aditya nama yang tertera pada layar handphone ku.
Ada apa gerangan fikirku.
Aku menekan tombol menjawab panggilan, “ Assalamualikum, ada apa Aditya.”
Aku mendengar suara dari seberang sana, “ Nanti malam Aisyah ada waktu?”
Lama aku baru menjawab, “ ada apa ya?”
“ Nanti malam saja Aditya beritahu,” suara Aditya terdengar serius.
Aku tidak berani untuk bertanya lebih lanjut, Aditya meneleponku, tidak pernah Aditya
meneleponku. Untuk mengalihkan pandangan teman kantor yang melihatku menerima
telepon di jam kantor.
Aku menjawab, “ Inshaallah, setelah sholat Isya’ saja nelponya ya. “
kataku kepada Aditya.
Setelah mendengar jawabanku, aku tidak mendengar suara dari Aditya selain kalimat “ sampai jam
delapan nanti malam, Assalamualikum.”
Aku menjawab salam Aditya dalam hati walaikumsalam. Talian telephon sudah
terputus, aku hanya heran saja, ada apa dengan Aditya.
Aku sengaja menjada jarak dengan Aditya, karena aku tidak merasa
mempunyai hubungan apa – apa dengannya. Sebagai seorang teman rasanya berlebihan
jika Aditya mengirim pesan setiap hari.
Tapi karena pekerjaan kantor masih ada yang harus di kerjakan, aku tidak
mau mencari jawaban atas pertanyaanku sendiri tentang Aditya.
***
Setelah sholat Isya’, aku duduk menemani ibu dan ayah menonton acara TV,
biasa acara berita terkini yang kami tonton, sambil mendiskusikan isu – isu
terkini yang terkait dengan Indonesia dan Manca Negara.
Karena kebiasan Aditya yang tidak pernah tepat waktu jika berjanji aku
tidak memikirkan janji tadi siang dengan Aditya.
Jam delapan tepat handphoneku berbunyi, tertera di layar handphone ku
nama Aditya. Tidak seperti biasayan pikirku.
“ Ibu Ayah, Aisyah ke kamar dulu,
ada telepon dari teman. Sepertinya penting, karena tadi siang kami sudah
janjian akan membahasnya malam ini,” pamitku kepada ibu dan ayah.
“ Assalamualaikum, ada apa Aditya? Sepertinya ada yang penting,” tanyaku
setelah mengangkat telephon dari Aditya.
“ Walaikumsalam, Aisyah sekarang lagi sendiri?” Aditya malah balik
bertanya kepadaku.
“ Memangnya kenapa? Iya, Aisyah sendiri di dalam kamar. Tadi Aisyah lagi
nonton sama ibu dan ayah tapi sekarang sudah di kamar .” Aku menjelaskan kepada
Aditya.
Aku mendengar nada yang aneh dari pertanyaan aditya, tidak seperti biasa.
Aditya biasanya hanya mengirim pesan tidak pernah menelepon.
Aku jadi penasaran, “ Aditya, ada apa? Ada masalah serius. “ tanyaku?
“ Aisyah sudah hampir tiga bulan kita berteman, “ kata Aditya.
“ Aditya mau menanyakan sesuatu kepada Aisyah, Aditya berharap Aisyah
menjawabnya dengan jujur,” terdengar suara aditya ditelephonku.
“ Ada apa, Aditya?” tanyaku penasaran.
“ Apakah Aisyah sudah ada teman lelaki?” Tanya Aditya
Spontan aku menjawab “ banyak,
memangnya kenapa?”
Aku mendengar desahan napas berat diseberang sana, dan terdengar suara
Aditya “ bukan itu yang Aditya maksud, Aisyah. Maksud Aditya sudah punya
kekasih.”
Lama aku terdiam, apa maksud Aditya bertanya demikian. Tanya ku dalam
hati.
Aku mendengar Aditya memanggil beberapa kali namaku, mungkin karena aku
hanya terdiam mendengar pertanyaan darinya.
“ Itu pertanyaan pribadi, Aisyah tidak akan menjawab pertanyaan ini.”
Kataku setelah mendengar Aditya beberapa menggulang menyebut namaku dari
seberang sana.
“ Tapi ini penting buat Aditya, Aisyah,” aku mendengar suara dari
telephon gemgamku.
“ Tapi buat apa Aditya menanyakan itu sekaitu sekarang,” tanyaku lagi.
Terdengar suara dari seberang sana, “ jika Aisyah belum punya kekasih,
maukah Aisyah menjadi kekasih Aditya.” Pertanyaan Aditya membuatku menjadi
geli, tanpa sengaja aku tertawa.
“ Mengapa tertawa Aisyah,” aku mendengar pertanyaan dari Aditya. Aku
tidak menyangka Aditya mendengar tawaku di seberang sana.
“ Maaf, “ kataku. “ Aisyah hanya merasa lucu saja, “ Aditya tidak merasa
lucu dengan pertanyaan adit sendiri?” kataku lagi.
“ Aditya lagi melucu ya?” tambahku lagi.
Lama aku tidak mendengar jawaban dari seberang sana. Aku mendiamkannya
saja, akhirnya aku mendengarkan suara Aditya dari seberang sana.
“ Aditya tidak sedang melucu Aisyah, Aditya merasa nyaman bersama Aisyah.
Walaupun kita hanya berteman lewat pesan
telephon saja.” Aditya melanjutkan perkataannya.
“ Ada rasa damai setiap bisa membaca pesan di telephon dengan Aisyah,
Aditya belum pernah merasakan raa seperti ini. “
“ Aditya punya banyak teman perempuan, tidak ada yang bisa menerima
Aditya seadanya.”
“ Aditya tahu, Aisyah pasti ragu dengan keadaan jarak yang memisahkan
kita.”
“ menurut Aditya jarak tidak menjadi masalah, Tanjung Pinang – Karimun
tidaklah terlalu jauh.” Aditya terus saja berbicara aku hanya mendengarkan dari
telephon gemgamku.
“ Bagaimana? Aisyah mau menerima Aditya,” di ujung bicaranya yang panjang
Aditya masih menanyakan kesedianku untuk menjadi kekasihnya.
“ Aditya, berikan Aisyah waktu untuk memikirkannya.” Akhirnya hanya
kalimat itu yang keluar dari mulutku.
“ Hari sudah malam, kita sambung lagi nanti ya Aditya,” aku ingin menutup
pembicaraan ini.
Hembusan napas berat terdengar lagi dari seberang sana, akhirnya aku
mendengar suara Aditya “ Terima kasih, iya, maaf sudah menganggu Aisyah mala
mini.” Aku melihat ke handphone ku, tanda sudah diputus panggilannya. Tidak
seperti biasanya, walaupun aku sudah mengucapkan kata salam sebagai penutup
masih ada saja yang suara dari seberang sana. Ah biarlah, besok – besok Aditya
pasti sudah seperti biasanya. Aku meyakinkan diriku, aku berdiri dari tempat
dudukku sewaktu menerima telepon dari Aditya tadi menuju kamar mandi untuk
menggosok gigi sebelum aku tidur.
***
Sudah hampir satu bulan aku tidak mendengar kabar dari Aditya, ada rasa
rindu juga. satu bulan waktu yang lama buatku untuk tidak menerima telephon
dari Aditya. Aku memberanikan diri untuk mengirim pesan kepada Aditya.
“ Assalamualaikum, apakabar Aditya,” hanya pesan itu yang ku kirim dari
handphone ku.
Sepuluh menit, dua puluh menit, sekarang sudah satu jam, aku belum
mendapatkan balasan pesan dari Aditya. Semarah itukah Aditya kepada diriku, aku
terus memikirkannya. Waktu hari ini berlalu sambil memikirkan ada apa dengan
Aditya, tidak pernah Aditya berlama – lama tidak menjawab pesan dariku.
Selesai sholat Isya’ bersama ibu dan ayah, seperti biasa kami duduk
menonton TV bersama. Berdiskusi membicara acara yang sedang kami tonton, tepat
jam 20.00 telephon gemgamku berbunyi, aku melirik kearah layar handphone ku.
Siapa gerangan malam – malam begini meneleponku. Aku seperti tidak percaya di
layar handphone ku tertera nama Aditya. Aku segera mengambil handphone ku yang
ku letakkan di lantai samping aku duduk, ibu – ayah, Aisyah ke kamar dulu ya.
Sambil berlari aku menuju kamarku.
“ Assalamualaikum,” aku mendengar suara Aditya dari seberang sana.
“ Walaikusalam,” jawabku.
Lama kami masing – masing tidak mengucapkan kata – kata lagi. Aku melihat
ke layar telephon untuk memastikan handphone ku masih tersambung dengan Aditya.
Karena aku tidak mendengarkan suara Aditya dari seberang sana. Masih tersambung
kata ku dalam hati, tapi mengapa tidak ada suara dari seberang sana?
Akhirnya aku yang memulai percakapan telephon kami “ Aditya sehat?” masih
tidak ada suara diseberang sana.
“ ya sudah, kalau tidak mau bicara Aisyah tutup saja telephonenya,”
kataku mengancam.
Masih tidak ada suara, aku mematikan telephone gemgamku, ada apa dengan
Aditya. Dia yang menelepon tapi tidak mau berbicara, kesal aku jadinya.
Tak lama kemudian handphone ku berbunyi lagi, aku melihat kelayar
handphone ku. Aditya lagi yang menelepon, aku penasaran apa sih maunya Aditya
ini sudah lama tidak menelepon, eh pas menelepon tidak berbicara apa – apa. Ini
menelepon lagi, karena penasaran aku mengangkat telephon ku.
“ Assalamualaikum, kalau tidak mau bicara tidak usah menelepon.” Kalimat
itu yang ku ucapkan pas mengangkat telephone dari Aditya.
“ Walaikumsalam, ku dengar suara Aditya dari seberang sana,”
“ Alhamdulillah ternyata ada orangnya,” aku memcoba untuk bercanda.
Tapi aku tidak mendengarkan respon yang menarik dari Aditya. Yang aku
dengar hanya desahan napas berat.
“ Maaf, Aditya sakit,” kataku
“ iya, sakit hati.” Aku mendengar jawaban lirih dari seberang sana.
“ Lever maksudnya,” kata ku menegaskan pernyataan Aditya sebentar ini.
“ benar Aditya sakit Liver, sudah berapa lama tahu, pantas sebulan ini
Aditya tidak menelepon Aisyah. Sudah parah sakitnya?” aku bertanya kepada
Aditya.
“ Aisyah, jangan mengalihkan pembicaraan! Aisyah tahu apa yang Aditya
maksudkan?” aku menjadi binggung, lama aku memikirkannya.
Ya Allah, sambil menepuk dahiku, aku teringat sebulan yang lalu
pertanyaan yang ditanyakan Aditya kepadaku.
“ Maaf, bukan itu maksud Aisyah. Benar Aisyah lupa, Aditya juga tidak ada
menelepon Aisyah lagi.” Aku menjelaskan kepada Aditya.
“ Aisyah lupa, Aisyah yang mengatakan akan menelepon Aditya. Aditya bukan
tidak mau menelepon Aisyah. Aditya hanya takut Aisyah tidak bisa menerima
Aditya.” Aku mendengar penjelasan Aditya dari seberang sana.
“ Besok pagi, Aditya mau ke Karimun. Maukah Aisyah menjemput Aditya di
pelabuhan,” ku dengar suara permintaan dari seberang sana.
“ Besok, apa tidak salah.” kataku
lagi.
‘ Iya, Aditya mau ke Karimun, Aditya sudah membeli tiket kapalnya. Kata
penjual kapal jam 09.30 Aditya sudah sampai di Karimun.” Maukan Aisyah
menjemput?
“ ada keperluan apa Aditya ke Karimun Kataku lagi.
“ Aditya menjadi peserta seminar lingkungan hidup di hotel Aston Karimun,
lusanya.” Aditya menjelaskan alasan kedatanganya ke Karimun.
Untung besok hari minggu, kalau tidak mana bisa aku menjemput Aditya di
pelabuhan.
“ Masih ada yang lain,” kataku kepada Aditya.
“ besok saja,” kita bicara lagi terdengar suara Aditya dari seberang
sana.
“ Assalamualaikum,” aku mendengar suara Aditya memutus pembicaraan
telephon kami.
“ Walaikumsalam,” aku hanya memandang layar telepon ku sudah tidak ada
tanda masih tersambung dengan handphonenya Aditya. Adakah Aditya mendengarkan
jawaban salam dariku.
Ada apa dengan Aditya, sudah lama tidak mengirim pesan. Aku jadi
mengingat percakapan kami sebulan yang lalu di telepon, mengingat – ingat
apakah benar aku yang berjanji akan menelepon Aditya kembali.
Ah, Adityakan laki – laki seharusnya jika aku tidak menelepon. Aditya
bisa meneleponku, seperti sebelumnya Aditya yang selalu punya insiatif dulu
untuk menghubungi dan menulis pesan kepadaku.
Aku merebahkan diriku ke ranjang, berusaha menutup mata. Tapi aku
teringat belum gosok gigi, akhirnya aku bangun menuju kamar mandi. Mungkin
setelah gosok gigi aku bisa tidur, pikirku.
Tapi mata ini tidak mau terpejam, setelah aku merebahkan kembali diri ke
ranjangku. Aku berpikir, kira – kira besok apa yang harus aku katakan jika
Aditya menanyakan kesedianku menjadi kekasihnya. Mendengar kata kekasih saja aku sudah merasa geli, aku tidak
pernah memikirkan hal ini.
Aku bukan termasuk perempuan yang seperti drama Korea yang romantis, aku di
didik untuk selalu mandiri. Aku tidak pernah merasa cantik. Karena dalam
keluargaku selalu di ta’arufkan. Cocok, maka kami akan menikah. Seingatku, aku
juga tidak pernah memberikan sinyal – sinyal bahwa aku menyukai Aditya. Aku
hanya tidak mau dibilang sombong saja tidak membalas telepon maupun pesannya.
Aku hanya merasa kami punya hobi yang sama tentang lingkungan sejalan
dengan pekerjaan kami mengurus lingkungnan.
Apakah aku memberikan sinyal yang salah sehingga Aditya mengira aku
memberikan sinyal – sinyal cinta?
Jam sudah menunjukkan pukul 24.10 ketika aku melihat jam dinding di
kamarku, ada apa dengan diriku. Aku tidak pernah berjaga sampai jam segini
pikirku. Ku paksakan diri untuk tidur, aku tidak mau besok aku terlambat bagun
sholat subuh.
Aku memejamkan mata sambil berulang kali membaca doa mau tidur , surat
ikhlas, surat An-nas, surat …, akhirnya aku tertidur tapi aku tidak pasti jam
berapa aku baru tertidur pulas.
***
Aku mendengar suara air dari kamar mandi, dengan sangat malas aku membuka
mata, melihat ke jam dinding sudah jam 05.05 berarti sebentar lagi subuh. Tapi
mataku masih terasa pedih untuk dibuka, berarti aku kurang tidur semalam. Tapi
aku tidak mau sampai ibu memanggilku untuk sholat subuh berjamah. Ku angkat
badanku dari ranjang, berjalan malas menuju kekamar mandi untuk mengambil
wudhu, menyusul ke ruang tengah untuk bergabung sholat subuh bersama ibu dan
ayah.
Selesai sholat subuh, aku meminta izin kepada ibu untuk tidak ikut jalan
pagi minggu ini. Sekalian memberitahukan kepada ibu dan ayah, jam 9.30 nanti
aku akan menjemput teman yang datang dari Tanjung Pinang dan mengantarnya ke
tempat penginapan.
Ibu meliha ke arahku “ kamu kurang tidur Aisyah, lihat matamu merah.
Pergilah istirahat, tapi jangan tidur. Karena tidur di pagi hari akan
mengundang sakit.” Ibu mengingatkanku.
‘ Iya ibu, Aisyah hanya mau berbaring saja. sambil berbenah belakang dan
membuatkan sarapan untuk ibu dan ayah.” Kataku.
***
Jam 09.10 aku pamit kepada ibu dan ayah untuk kepelabuhan, aku terbiasa
dengan tepat waktu jika berjanji. Lebih baik aku yang menunggu daripada aku
yang ditunggu.
Ternyata karena angin laut kuat, kapal terlambat sampai di Karimun . Aku
harus menunggu agak lama, aku dan Aditya sudah berjanji untuk berjumpa di depan
pintu masjid pelabuhan.
Jam 9.50 aku melihat Aditya berjalan menuju kearahku, sambil melambaikan
tangan kearahku. Aku hanya tersenyum memandang kearah Aditya.
“ Assalamualaikum,” aku meyapa Aditya setelah dia cukup dekat dengan ku.
Lama Aditya memandangku, baru ku dengar suaranya menjawab salamku “
Walaikumsalam.
“ Pasti Aisyah kesalkan karena harus menunggu lama, tapi ini bukan
salahku,” kata Aditya, yang salah anginnya kenapa pakai kuat anginnya sehingga
kapal tidak bisa berjalan laju.” Lanjut Aditya.
Aku hanya tersenyum, ternyata Aditya tahu aku tidak suka dengan orang
yang terlambat.
“ Boleh kita sarapan dulu,” ajak Aditya.
Sebelum aku menjawab aku mendengar suara Aditya “ bukan sarapan, lebih
kemakan siang sudah jam 10, sampai tempat makan, nunggu pasti sampai jam 11.”
Kami berjalan menuju motorku, aku memberikan kunci motor kepada Aditya
menunjukkan arah rumah makan terdekat dengan pelabuhan. Lurus saja kataku
setelah Aditya menyalakan motorku.
Setelah sampai di rumah makan, Aditya mengajak aku duduk di pojokan rumah
makan yang masih kosong.
“ Aditya menginap dimana malan ini, besokkan baru acara seminarnya?
Tanyaku.
“ Menginap di rumah Aisyah, boleh?” aku terkejut mendengar perkataan
Aditya. Belum sempat aku menjawab, Aditya melambaikan tangannya di wajahku
sambil berkata “ Aditya main – main saja Aisyah, ekspresi wajahmu menakutkan,”
kata Aditya.
“ Aku menginap dirumah kakakku,” jawab Aditya santai.
Aku kaget mendengar jawaban Aditya, ternyata Aditya punya saudara di
Karimun.
“ Kenapa Aditya meminta Aisyah yang menjemput? Tanyaku.
“ Aditya rindu sama Aisyah,” katanya pendek.
Hampir tersedak jus alpukat yang sedang aku minum mendengar perkataan
Aditya.
Aku melepaskan sedotan dari mulutku, mataku ku arahkan ke wajah Aditya.
Ternyata Aditya sedang memandang wajahku, agak risih aku dibuatnya.
“ Aditya jangan bergurau seperti itu, Aisyah tidak suka mendengarnya. “
kataku.
Pelayan sudah menghidangkan pesanan kami, aku langsung
berkata “ cepatlah makan, Aisyah akan mengantarkan Aditya ke rumah kakak Aditya
setelah makan selesai.” Lanjutku jengah.
Kami makan, tidak terdengan suara Aditya maupun
suaruku, kami sepertinya hanyut dengan pikiran kami masing – masing.
Selesai makan, aku
berjalan ke kasir. Ingin membayar makanan yang kami makan. Alangkah terkejutnya
aku, kasir mengatakan sudah di bayar. Padahal aku menganggap Aditya tamu yang
harus aku traktir. Ternyata sudah keduluan. Aditya berdiri di belakangku,
mungkin karena tidak fokus dengan pembicaraan kami sedari pelabuhan tadi. Aku
menggangap Aditya tidak kenal dengan seluk beluk Karimun.
Untuk menghilangkan
rasa malu, aku berjalan keluar rumah makan terus menuju tempat motorku di pakir
oleh Aditya.
Aku tidak berkata – kata lagi, Aditya menstater
motorku dan mengarahkannya kearah costal area. Aku hanya tercegang melihat
motorku di arahkan kesana, tak lama aku mendengar suaru Aditya.
“ Kita perlu bica serius Aisyah,” sebentar saja Aditya
janji katanya.
“ Atau kita bicaranya di rumah Aisyah saja? lanjut
Aditya.
“ iya, Jawabku
spontan.” Aku hanya memikirkan tadi aku tidak pamit untuk berlama – lama diluar. Aku
tidak mau merusak kepercayaan ibu dan ayah kepadaku.
Tanpa bertanya
kepadaku, dimana rumahku Aditya langsung saja membelokkan arah motor dari
costal area kembali ke jalan A. Yani melewati puakang dan belok dipasar Maimun
dan lurus ke arah Meral. Aku hanya terdiam di belakang motor. Sesampainya di
depan kantor Bea Cukai Meral Aditya belok menuju arah kampong bukit menuju
kerumah orang tuaku.
Aku terkejut, ketika
Aditya memakirkan motorku pas di depan rumah orang tuaku.
Ayah dan ibu sedang
duduk santai ketika kami sampai, Aditya membuka pintu pagar rumahku dan
mengucapkan salam.
“ Assalamualaikum Mak
Long Pak Long, “ Ucapnya.
Ayah ibu menjawab
serentak “ Walaikusalam, baru sampai? Katanya jam 9.30 kenapa baru sampai
sekarang,” kata Ibuku kepada Aditya.
Aku binggung melihat
cara mereka berbicara, seperti seperti sudah kenal lama.
“ Aisyah kenapa masih
di luar masuk,” ku dengar suara ibu memanggilku.
Aku masuk kerumah,
Aditya sudah duduk berdampingan dengan ayah di teras rumahku.
“ Ini anak Mak Uncu
mu, adiknya Mila,” ibu menjelaskan.
“ Aditya sudah
berkabar mau datang,” kata ayah.
Ibu dan ayahku
berdiri bersamaan, ku dengar kata ibu “ Aditya mau mengatakan sesuatu kepadamu
Aisyah.” Ibu dan ayah akan meninggalkan kalian berdua. Ibu dan ayah
meninggalkan kami di teras rumah.
Aku seperti di tipu
oleh Aditya, lama aku memandang wajah Aditya.
“ Mengapa Aisyah
memandang Adity seperti itu, Gantengkan.” Usik Aditya.
“ Mengapa Aditya
tidak pernah mengatakan kalau kita bersaudara? Aditya sengaja mau mempermaikan
Aisyahkan,” kataku kesal.
“ Aisyah yang tidak
pernah bertanya kepada Aditya, setiap kita berbicara ataupun bertulis pesan
Aisyah selalu menjaga jarak dan hanya berbicara yang menyangkut hobi kita sama.
“
“ Coba Aisyah ingat
baik – baik, setelah dua bulan pertemuan kita di Batam. Aditya berusaha
memancing Aisyah untuk bercerita tentang keluarga tapi Aisyah sengaja
mengalihkan pembicaran.”
“ Selama enam bulan
ini, Aditya selalu menurutkan apapun yang Aisyah inginkan tapi Aditya tidak
bisa bertahan lebih lama lagi.”
“ Karena itu hari ini
Aditya mau menuntaskan semuanya.” Kata Aditya sambil menatap lekat kearah
wajahku.
“ Aditya menyukai
Aisyah, bukan hanya mengingikan Aisyah sebagai kekasih tapi lebih dari itu
maukah Aisyah menjadi pendamping hidup Aditya.”
“ Kalau masih belum
faham juga, sudikah Aisyah menjadi istri Aditya yang sah oleh hukum agama,” aku
tidak membayangkan Aditya yang selama enam bulan ini aku kenal bisa seserius ini.
Bukan karena aku
tidak mau serius tapi bagiku, hubungan jarak jauh akan mendatangkan masalah,
aku tidak percaya dengan hubungan jarak jauh. Banyak teman sekantorku yang
perkahwinannya tidak langgeng karena suami istri tidak pada tempat yang sama.
Aku tidak mau perkahwinanku nanti akan sama seperti teman sekantorku.
“ Aditya, sudahkah
memikirkan bagaiman perkahwinan kita nanti.”
‘ Aisyah di Karimun, Aditya di Tanjung Pinang.
Jarak akan memisahkan kita. Aisyah tidak mau setelah menikah kita berpisah, itu
juga yang menjadi penyebab mengapa Aisyah selalu mengalihkan pembicaraan jika
Aditya sudah mulai membicarakan hal yang agak pribadi. Bukannya Aisyah tidak
paham arah pembicaraan Aditya, maafkan Aisyah. Kataku.
“ Mungkin Aisyah
menggangap Aditya juga tidak memikirkan hal ini. Alhamdulillah jika kita bersungguh – sungguh
dengan niat kita maka Allah akan mempermudah segalanya.”
“ Sudah lama Aditya
memperhatikan Aisyah setiap pulang sebelum Ramadhan dan pulang untuk berlebaran
bersama keluarga. Sudah dari Aisyah SMA, Aditya suka sama Aisyah. Aisyah adalah
tipe istri yang Aditya cari, perempuang sholehah yang kelak menjadi ibu anak –
anak Aditya, Inshaaallah.”
Sebenarnya tiga bulan
yang lalu, Aditya sudah datang melamar Aisyah kepada ibu dan ayah Aisyah.
Lalu ibu dan ayah Asiyah Ta’aruf kita,
karena itu sebulan yang lalu masihkan Aisyah ingat waktu Aditya menelepon
mengatakan maukah Aisyah menjadi kekasih Aditya.
“ Aisyah menjawab, berikan Aisyah waktu untuk
menjawab.
Dengan tidak
menelepon – menelepon Aditya, Aditya tahu Aisyah tidak mau menyakiti Aditya. “
“ Pasti Aisyah
memikirkan bagaimana cara menyampaikan kepada Aditya bahwa Aisyah sudah
dita’arufkan oleh keluarga.”
“ Sekarang, Aditya yang jadi tidak sabaran berjumpa dengan
Aisyah untuk mengatakan sebenarnya senin nanti Aditya sudah bertugas di
Karimun. Dan bulan depan kita menikah, bagaimana Aisyah,” Tanya Aditya.
Ya Allah aku seperti
melihat pelangi, pelangi yang biasanya turun setelah gerimis menghilang. Aku
baru memikirkan, akan kehilangan teman yang sebenarnya sudah sangat memikat
hatiku, tapi aku sudah dita’arufkan oleh keluarga.
Ternyata pelangi itu
sangat indah bagi orang – orang yang selalu pasrah kepadanya. Tidak sia – sia
sholat tahajuddku setiap malam untuk mendapatkan jodoh yang dapat menerimaku
apa adanya. Terima kasih ya Allah atas karunianya, aku tersenyum manis
memandang Aditya tanpa bisa berkata apa – apa.
Keren Bu cerpennya, terus menulis
BalasHapusWaduh Ibu Siti Nurbsya ceritanya panjang sekali kaya kereta api hehehe tp bagus banget heppy ending lengkap,,,jd penulis jenre novel saja atsu sudah ya ( bu sri)
BalasHapusHappy ending cerpennya bu.
BalasHapus