Sabtu, 01 Agustus 2020

Seindah Pelangi



Jam tanganku sudah menunjukkan jam 19.45, sudah 45 menit Aditya terlambat dari jam yang sudah kami sepakati bersama. Ini bukan yang pertama kalinya buat Aditya melanggar janjinya kepadaku. Untung saja tadi aku mengatakan kepada kedua orang tuaku bahawa Aditya datang jam 20, seandainya aku mengatakan jam yang sudah menjadi kesepakan kami, aku yakin ayah semakin tidak akan menyukai Aditya.

Entahlah aku tidak tahu, apakah ini yang dikatakan cinta buta. Aku melihat semua kelemahan pada Aditya, tapi aku selalu berkata pada hatiku aditya pasti akan berubah perlahan – lahan aku akan mengajarkan Aditya cara untuk menghargai waktu. Seperti aku yang sudah di didik oleh ayah ibuku untuk selalu menghargai waktu.

Kalau diingat kembali, saat pertama kali aku berjumpa dengan Aditya. Aku seharusnya sudah tahu laki – laki yang bernama Aditya ini adalah orang yang tidak tepat waktu. Undangan untuk menghadiri seminar sudah jelas tertulis jam 7.30, acara seremonial untuk seminar sudah satu jam yang lalu. Kami peserta seminar sedang mendengarkan penjelasan dari pemateri dengan serius, tiba – tiba sesosok laki – laki dengan menghendap duduk di sampingku. Pantas saja kursi disebelahku kosong, aku pikir orangnya tidak bisa hadir disebabkan sesuatu yang tidak bisa ditinggalkanya.

Sambil berbisik laki – laki yang baru saja datang berkata “ namaku Aditya, belum masuk materi yang beratkan,” lelaki yang bernama Aditya itu menolehkan mukanya dan menatapku. Mau tidak mau aku melihat kepadanya dan berkata “ menurutku materi yang disampaikan sudah dari tadi inti seminar ini, maksud anda dengan materi berat saya tidak mengerti? Aku balik bertanya.

Aku meletakkan jariku di mulutku, menandakan aku tidak mau diganggu dengan pertanyaan yang menurutku tidak penting dari laki – laki yang baru saja duduk disebelahku. Untungnya isyarat yang ku berikan memberikan efek langsung kepada lelaki tersebut, selama satu setengah jam kedepan aku tidak melihat lelaki tadi mengeluarkan suara dari mulutnya. Lelaki yang duduk disebelahku memperhatikan pemateri memberikan penjelasan di depan sana.
Jam 10.30 coffeebreak, waktunya kami peserta seminar untuk meluruskan kaki dan badan setelah hampir dua jam setengah duduk mendengar isi seminar. Kami dipersilakan oleh panitia untuk menikmati makanan kecil beserta kopi dan the.
Belum sempat aku  berdiri sempurna dari kursiku, lelaki yang duduk disebelahku mengulurkan tangan sambil mengucapkan kata “ perkenalkan namaku Aditya, aku dari  Tanjung pinang.
“ Anda dari mana, lucu rasanya jika kita tidak saling kenal. Selama satu hari kita akan duduk berdampingan,” katanya lagi.
Aku tidak mau dibilang sombong, sambil mengulurkan tangan aku menyebutkan namaku “ Aisyah, dari Karimun,”
Pantas saja anda tidak terlambat, pasti anda sudah dari kemarin ada di Batam. Tanpa aku bertanya Aditya mengatakan alasan keterlambatanya menghadiri seminar ini.
“ Aku malas untuk menginap di Batam, dari Pinang ka nada kapal pagi. Paling aku terlambat sebentar. Aku kira itu tidak menjadi masalah” katanya lagi.
Aku hanya tersenyum mendengar penjelasanya, kami keluar ruangan bersama dan menghabiskan coffeebreak bersama juga.
Aditya lelaki yang cukup simpatik menurutku, biasanya aku agak susah untuk cepat akrab dengan orang yang baru ku kenal.
Seminar kali ini, tidak sama dengan seminar sebelumnya, mungkin ada Aditya yang sering mengisi seminar dengan kata – kata lucunya yang menghilangkan rasa kantukku.
Tanpa terasa seminar sudah usai, jam tanganku menunjukkan jam 16.30 aku harus bergegas untuk ke pelabuhan. Kapalku akan berangkat ke karimun tepat jam 17.00 nanti. Aditya menawarkan jasa untuk mengantar ku kepelabuhan, selama perjalanan kepelabuhan yang memakan waktu 10 menit tidak terasa.
Kapalku tepat waktu 17.00 sudah bergerak meninggalkan pelabuah hourbay batam, aku duduk di salah satu kursi penumpang, karena melihat tidak banyak penumpang aku mencari tempat yang di sebelahku yang aku pastikan tidak ada yang akan duduk. Aku sengaja mencari tempat seperti itu untuk melihat WA ku, karena dari aku membeli tiket kapal sampai menuju kapal aku mendengar nada notifikasi beberapa kali berbunyi. Pasti ada yang mewahstapp ku, setelah yakin tidak ada yang akan duduk disampingku, aku membuka handphone ku.
Ternyata benar ada beberapa pemberitahuan yang ku terima, pertama dari ibu yang menanyakan apakah aku tidak ketinggalan kapal. Jika ketinggalan kapal aku bisa menginap dirumah saudaraku. Ibu sudah menelpon  Mak Ngah ku memberitahukan jika aku tidak terkejar kapal tolong di jemput dan menginap semalam di rumah Mak Ngahku. (adik ibuku yang nomor 3)
Aku langsung menelepon ibu, “ Assalamualaikum, Aisyah sudah dikapal bu, kapal sudah jalan 10 menit yang lalu,” aku menjelaskan kepada ibu.
“ Alhamdulillah, jam 18.20 ibu akan meminta adikmu untuk menjemputmu ke pelabuhan,” ku dengar suara ibu di seberang sana.
“ Terima kasih ibu, Aisyah tutup telponya ya. Sambil mengucapkan salam.”
Aku melihat ke pesan ke dua, aku meneliti nomor pengirim. Karena tidak ada nama yang tertera pada pesan ini. Aku menekan isi pesan, aku membaca teks yang tertulis di pesan.
“ Sudah mendapatkan tempat diduduk dikapal Aisyah, ini nomor teleponku. Mudah – mudahan kita bisa menjadi teman walaupun tidak lagi mengikuti seminar, tulis Aditya.
Aku tersenyum membaca pesan yang dibuat oleh Aditya, ternyata dia tidak seperti yang ku duga.
Sudah beberapa kali aku mengikuti seminar, dan sudah beberapa kali berkenalan dengan peserta laki – laki. Saling bertukar nomor telpon, berjanji akan menelpon tapi tidak ada yang pernah menepati janjinya untuk menelepon kembali.
Aku tidak merasa memberikan nomor telephonku kepada Aditya, aku melihat ada pesan satu lagi dari Aditya, aku membacanya “ Maaf aku mendapatkan nomor teleponmu sewaktu mengisi daftar hadir tadi, selama seminar Asiyah tidak banyak berbicara aku yang lebih banyak berbicara.”
Pesan kedua ini menjawab pertanyaan ku darimana Aditya mendapatkan nomor telephonku. Aku hanya tersenyum, dalam hati aku berkata, “ Besok juga sudah lupa.”
Aku menutup handphoneku, karena tidak ada lagi pesan yang harus ku baca.
Untuk mengusir kantuk yang sedari tadi sudah mengantung di mataku, aku memejamkan mataku, lumayan satu jam aku bisa tidur.
Kapal berjalan tidak terasa, bunyi pemberitahuan oleh awak kapal membangunkanku.
“ kapal sudah memasuki pelabuhan Tanjung Balai, bagi penumpang diharapkan untuk bersiap – siap turun. Pasti barang anda tidak ada yang tertinggal.”
Aku meluruskan pinggang dengan berdiri ditempat dudukku, memastikan semua barang bawaan ku tidak ada yang tertinggal di kapal. Aku duduk kembali, karena kapal masih harus bersandar di pelabuhan. Ini akan memakan waktu sekita lima belas minit. Aku tidak pernah mau terburu – buru untuk turun dari kapal seperti yang dilakukan oleh penumpang lain. Kapal tidak akan berangkat kemana – mana, daripada berdesak –desak turun, lebih baik santai karena ini pelabuhan terakhir kapal hari ini.

Kadang – kadang heran aku dengan penumpang yang menaiki kapal, setiap ada pengumuman kapal akan sampai ditempat tujuan, pasti berdesak – desakan untuk turun duluan seperti kapal akan langsung berangkat sehingga tidak bisa turun.
Aku mengatur langkah setelah melihat penumpang yang didepan sudah tidak berdesakan lagi, menuju pintu keluar kapal. Alhamdulillah, aku sudah sampai kataku dalam hati.
Berjalan menuju poton, aku melihat adikku sudah menunggu. Aku melambaikan tangan kearah adikku.

Beberapa hari sudah berlalu, aku hampir lupa dengan Aditya. Aku sudah disibukkan dengan kerja kantor yang membutuhkan perhatianku.
Siang ini,  jam makan siang aku melihat pesan dari nomor Aditya mengirim pesan. Aku membuka pesan yang masuk ke handphone ku, dan membacanya “ Assalamualikum, Aisyah apakabar? Maaf menganggu makan siangnya, tapi aku tidak bisa menunggu lama lagi. Sudah beberapa hari ini tidak bisa makan siang karena tidak ada kabar dari Aisyah. Aisyah belum menjawab pertanyaanku apakah kita bisa berteman?”
Aku hampir melupakan yang namanya Aditya, kenalan baru sewaktu mengikuti seminar di Batam. Aku memutuskan untuk menjawab pesan dari Aditya ini.
“ Walaikumsalam, maaf. Sewaktu membaca pesan pertama dari Aditya, kapal sudah berjalan dan hilang sinyal. Sesampai di rumah, Asiyah langsung bersih – bersih dan sholat, karena kepenatan Aisyah langsung tidur. Besoknya sudah kerja kembali, maaf kalau terlupa akan pesan dari Aditya” aku mengirim balasan untuk  Adiyta.
Bunyi pesan masuk terdengar lagi, ku buka dan ku baca “ Aisyah belum menjawab pertanyaan Aditya, bisakah kita berteman ?”
Aku berpikir sejenak tidak ada salahnya punya teman banyak, aku membalas pesan Aditya.
“ Selama Aditya merasa tidak keberatan untuk menjadi kawan Aisyah, Aisyah tidak akan memutus silaturahmi. Silaturahmi itu penting untuk memperpanjang umur.” Tulisku.

Semejak siang itu, Aditya dua hari sekali  berkirim pesan kepadaku. Percakapan yang kami bincangkan seputar pekerjaan masing – masing, sebulan kemudian pesan yang ku terima selalunya dua hari sekali, berganti menjadi satu hari sekali.
Aku agak risih dengan pesan yang datang setiap hari, pasti ada apa – apanya pikirku, akhirnya aku berpikir untuk menghentikan pesan setiap hari ini dengan cara yang halus.
Pada hari kesepuluh setelah menerima pesan setiap hari, aku menulis pesan kepada Aditya dengan bunyi pesan:
 “ Assalamualaikum, maaf beberapa hari kedepan Aiysah tidak bisa membalas pesan Aditya. Ada banyak pekerjaan kantor yang harus Aisyah selesai karena mengejar target.”
Aditya membalas pesanku singkat “ Ok, Aditya mengerti.”
Aku bernapas lega, belum sempat aku meletakan telponku ke meja. Aku melihat ada yang meneleponku. Aditya nama yang tertera pada layar handphone ku. Ada apa gerangan fikirku.
Aku menekan tombol menjawab panggilan, “ Assalamualikum, ada apa Aditya.”
Aku mendengar suara dari seberang sana, “ Nanti malam Aisyah ada waktu?”
Lama aku baru menjawab, “ ada apa ya?”
“ Nanti malam saja Aditya beritahu,” suara Aditya terdengar serius.
Aku tidak berani untuk bertanya lebih lanjut,  Aditya meneleponku, tidak pernah Aditya meneleponku. Untuk mengalihkan pandangan teman kantor yang melihatku menerima telepon di jam kantor.
Aku menjawab, “ Inshaallah, setelah sholat Isya’ saja nelponya ya. “ kataku kepada Aditya.
Setelah mendengar jawabanku, aku tidak mendengar suara  dari Aditya selain kalimat “ sampai jam delapan nanti malam, Assalamualikum.”
Aku menjawab salam Aditya dalam hati walaikumsalam. Talian telephon sudah terputus, aku hanya heran saja, ada apa dengan Aditya.
Aku sengaja menjada jarak dengan Aditya, karena aku tidak merasa mempunyai hubungan apa – apa dengannya. Sebagai seorang teman rasanya berlebihan jika Aditya mengirim pesan setiap hari.
Tapi karena pekerjaan kantor masih ada yang harus di kerjakan, aku tidak mau mencari jawaban atas pertanyaanku sendiri tentang Aditya.
***
Setelah sholat Isya’, aku duduk menemani ibu dan ayah menonton acara TV, biasa acara berita terkini yang kami tonton, sambil mendiskusikan isu – isu terkini yang terkait dengan Indonesia dan Manca Negara.
Karena kebiasan Aditya yang tidak pernah tepat waktu jika berjanji aku tidak memikirkan janji tadi siang dengan Aditya.
Jam delapan tepat handphoneku berbunyi, tertera di layar handphone ku nama Aditya. Tidak seperti biasayan pikirku.
 “ Ibu Ayah, Aisyah ke kamar dulu, ada telepon dari teman. Sepertinya penting, karena tadi siang kami sudah janjian akan membahasnya malam ini,” pamitku kepada ibu dan ayah.
“ Assalamualaikum, ada apa Aditya? Sepertinya ada yang penting,” tanyaku setelah mengangkat telephon dari Aditya.
“ Walaikumsalam, Aisyah sekarang lagi sendiri?” Aditya malah balik bertanya kepadaku.
“ Memangnya kenapa? Iya, Aisyah sendiri di dalam kamar. Tadi Aisyah lagi nonton sama ibu dan ayah tapi sekarang sudah di kamar .” Aku menjelaskan kepada Aditya.
Aku mendengar nada yang aneh dari pertanyaan aditya, tidak seperti biasa.
Aditya biasanya hanya mengirim pesan tidak pernah menelepon.
Aku jadi penasaran, “ Aditya, ada apa? Ada masalah serius. “ tanyaku?
“ Aisyah sudah hampir tiga bulan kita berteman, “ kata Aditya.
“ Aditya mau menanyakan sesuatu kepada Aisyah, Aditya berharap Aisyah menjawabnya dengan jujur,” terdengar suara aditya ditelephonku.
“ Ada apa, Aditya?” tanyaku penasaran.
“ Apakah Aisyah sudah ada teman lelaki?” Tanya Aditya
Spontan aku menjawab “  banyak, memangnya kenapa?”
Aku mendengar desahan napas berat diseberang sana, dan terdengar suara Aditya “ bukan itu yang Aditya maksud, Aisyah. Maksud Aditya sudah punya kekasih.”
Lama aku terdiam, apa maksud Aditya bertanya demikian. Tanya ku dalam hati.
Aku mendengar Aditya memanggil beberapa kali namaku, mungkin karena aku hanya terdiam mendengar pertanyaan darinya.
“ Itu pertanyaan pribadi, Aisyah tidak akan menjawab pertanyaan ini.” Kataku setelah mendengar Aditya beberapa menggulang menyebut namaku dari seberang sana.
“ Tapi ini penting buat Aditya, Aisyah,” aku mendengar suara dari telephon gemgamku.
“ Tapi buat apa Aditya menanyakan itu sekaitu sekarang,” tanyaku lagi.
Terdengar suara dari seberang sana, “ jika Aisyah belum punya kekasih, maukah Aisyah menjadi kekasih Aditya.” Pertanyaan Aditya membuatku menjadi geli, tanpa sengaja aku tertawa.
“ Mengapa tertawa Aisyah,” aku mendengar pertanyaan dari Aditya. Aku tidak menyangka Aditya mendengar tawaku di seberang sana.
“ Maaf, “ kataku. “ Aisyah hanya merasa lucu saja, “ Aditya tidak merasa lucu dengan pertanyaan adit sendiri?” kataku lagi.
“ Aditya lagi melucu ya?” tambahku lagi.
Lama aku tidak mendengar jawaban dari seberang sana. Aku mendiamkannya saja, akhirnya aku mendengarkan suara Aditya dari seberang sana.
“ Aditya tidak sedang melucu Aisyah, Aditya merasa nyaman bersama Aisyah. Walaupun kita hanya berteman lewat pesan  telephon saja.” Aditya melanjutkan perkataannya.
“ Ada rasa damai setiap bisa membaca pesan di telephon dengan Aisyah, Aditya belum pernah merasakan raa seperti ini. “
“ Aditya punya banyak teman perempuan, tidak ada yang bisa menerima Aditya seadanya.”
“ Aditya tahu, Aisyah pasti ragu dengan keadaan jarak yang memisahkan kita.”
“ menurut Aditya jarak tidak menjadi masalah, Tanjung Pinang – Karimun tidaklah terlalu jauh.” Aditya terus saja berbicara aku hanya mendengarkan dari telephon gemgamku.
“ Bagaimana? Aisyah mau menerima Aditya,” di ujung bicaranya yang panjang Aditya masih menanyakan kesedianku untuk menjadi kekasihnya.
“ Aditya, berikan Aisyah waktu untuk memikirkannya.” Akhirnya hanya kalimat itu yang keluar dari mulutku.
“ Hari sudah malam, kita sambung lagi nanti ya Aditya,” aku ingin menutup pembicaraan ini.
Hembusan napas berat terdengar lagi dari seberang sana, akhirnya aku mendengar suara Aditya “ Terima kasih, iya, maaf sudah menganggu Aisyah mala mini.” Aku melihat ke handphone ku, tanda sudah diputus panggilannya. Tidak seperti biasanya, walaupun aku sudah mengucapkan kata salam sebagai penutup masih ada saja yang suara dari seberang sana. Ah biarlah, besok – besok Aditya pasti sudah seperti biasanya. Aku meyakinkan diriku, aku berdiri dari tempat dudukku sewaktu menerima telepon dari Aditya tadi menuju kamar mandi untuk menggosok gigi sebelum aku tidur. 

***
Sudah hampir satu bulan aku tidak mendengar kabar dari Aditya, ada rasa rindu juga. satu bulan waktu yang lama buatku untuk tidak menerima telephon dari Aditya. Aku memberanikan diri untuk mengirim pesan kepada Aditya.
“ Assalamualaikum, apakabar Aditya,” hanya pesan itu yang ku kirim dari handphone ku.
Sepuluh menit, dua puluh menit, sekarang sudah satu jam, aku belum mendapatkan balasan pesan dari Aditya. Semarah itukah Aditya kepada diriku, aku terus memikirkannya. Waktu hari ini berlalu sambil memikirkan ada apa dengan Aditya, tidak pernah Aditya berlama – lama tidak menjawab pesan dariku.
Selesai sholat Isya’ bersama ibu dan ayah, seperti biasa kami duduk menonton TV bersama. Berdiskusi membicara acara yang sedang kami tonton, tepat jam 20.00 telephon gemgamku berbunyi, aku melirik kearah layar handphone ku. Siapa gerangan malam – malam begini meneleponku. Aku seperti tidak percaya di layar handphone ku tertera nama Aditya. Aku segera mengambil handphone ku yang ku letakkan di lantai samping aku duduk, ibu – ayah, Aisyah ke kamar dulu ya. Sambil berlari aku menuju kamarku.
“ Assalamualaikum,” aku mendengar suara Aditya dari seberang sana.
“ Walaikusalam,” jawabku.
Lama kami masing – masing tidak mengucapkan kata – kata lagi. Aku melihat ke layar telephon untuk memastikan handphone ku masih tersambung dengan Aditya. Karena aku tidak mendengarkan suara Aditya dari seberang sana. Masih tersambung kata ku dalam hati, tapi mengapa tidak ada suara dari seberang sana?
Akhirnya aku yang memulai percakapan telephon kami “ Aditya sehat?” masih tidak ada suara diseberang sana.
“ ya sudah, kalau tidak mau bicara Aisyah tutup saja telephonenya,” kataku mengancam.
Masih tidak ada suara, aku mematikan telephone gemgamku, ada apa dengan Aditya. Dia yang menelepon tapi tidak mau berbicara, kesal aku jadinya.
Tak lama kemudian handphone ku berbunyi lagi, aku melihat kelayar handphone ku. Aditya lagi yang menelepon, aku penasaran apa sih maunya Aditya ini sudah lama tidak menelepon, eh pas menelepon tidak berbicara apa – apa. Ini menelepon lagi, karena penasaran aku mengangkat telephon ku.
“ Assalamualaikum, kalau tidak mau bicara tidak usah menelepon.” Kalimat itu yang ku ucapkan pas mengangkat telephone dari Aditya.
“ Walaikumsalam, ku dengar suara Aditya dari seberang sana,”
“ Alhamdulillah ternyata ada orangnya,” aku memcoba untuk bercanda.
Tapi aku tidak mendengarkan respon yang menarik dari Aditya. Yang aku dengar hanya desahan napas berat.
“ Maaf, Aditya sakit,” kataku
“ iya, sakit hati.” Aku mendengar jawaban lirih dari seberang sana.
“ Lever maksudnya,” kata ku menegaskan pernyataan Aditya sebentar ini.
“ benar Aditya sakit Liver, sudah berapa lama tahu, pantas sebulan ini Aditya tidak menelepon Aisyah. Sudah parah sakitnya?” aku bertanya kepada Aditya.
“ Aisyah, jangan mengalihkan pembicaraan! Aisyah tahu apa yang Aditya maksudkan?” aku menjadi binggung, lama aku memikirkannya.
Ya Allah, sambil menepuk dahiku, aku teringat sebulan yang lalu pertanyaan yang ditanyakan Aditya kepadaku.
“ Maaf, bukan itu maksud Aisyah. Benar Aisyah lupa, Aditya juga tidak ada menelepon Aisyah lagi.” Aku menjelaskan kepada Aditya.
“ Aisyah lupa, Aisyah yang mengatakan akan menelepon Aditya. Aditya bukan tidak mau menelepon Aisyah. Aditya hanya takut Aisyah tidak bisa menerima Aditya.” Aku mendengar penjelasan Aditya dari seberang sana.
“ Besok pagi, Aditya mau ke Karimun. Maukah Aisyah menjemput Aditya di pelabuhan,” ku dengar suara permintaan dari seberang sana.
“ Besok, apa tidak salah.”  kataku lagi.
‘ Iya, Aditya mau ke Karimun, Aditya sudah membeli tiket kapalnya. Kata penjual kapal jam 09.30 Aditya sudah sampai di Karimun.” Maukan Aisyah menjemput?
“ ada keperluan apa Aditya ke Karimun Kataku lagi.
“ Aditya menjadi peserta seminar lingkungan hidup di hotel Aston Karimun, lusanya.” Aditya menjelaskan alasan kedatanganya ke Karimun.
Untung besok hari minggu, kalau tidak mana bisa aku menjemput Aditya di pelabuhan.
“ Masih ada yang lain,” kataku kepada Aditya.
“ besok saja,” kita bicara lagi terdengar suara Aditya dari seberang sana.
“ Assalamualaikum,” aku mendengar suara Aditya memutus pembicaraan telephon kami.
“ Walaikumsalam,” aku hanya memandang layar telepon ku sudah tidak ada tanda masih tersambung dengan handphonenya Aditya. Adakah Aditya mendengarkan jawaban salam dariku.
Ada apa dengan Aditya, sudah lama tidak mengirim pesan. Aku jadi mengingat percakapan kami sebulan yang lalu di telepon, mengingat – ingat apakah benar aku yang berjanji akan menelepon Aditya kembali.
Ah, Adityakan laki – laki seharusnya jika aku tidak menelepon. Aditya bisa meneleponku, seperti sebelumnya Aditya yang selalu punya insiatif dulu untuk menghubungi dan menulis pesan kepadaku.
Aku merebahkan diriku ke ranjang, berusaha menutup mata. Tapi aku teringat belum gosok gigi, akhirnya aku bangun menuju kamar mandi. Mungkin setelah gosok gigi aku bisa tidur, pikirku.
Tapi mata ini tidak mau terpejam, setelah aku merebahkan kembali diri ke ranjangku. Aku berpikir, kira – kira besok apa yang harus aku katakan jika Aditya menanyakan kesedianku menjadi kekasihnya. Mendengar kata  kekasih saja aku sudah merasa geli, aku tidak pernah memikirkan hal ini.
Aku bukan termasuk perempuan yang seperti drama Korea yang romantis, aku di didik untuk selalu mandiri. Aku tidak pernah merasa cantik. Karena dalam keluargaku selalu di ta’arufkan. Cocok, maka kami akan menikah. Seingatku, aku juga tidak pernah memberikan sinyal – sinyal bahwa aku menyukai Aditya. Aku hanya tidak mau dibilang sombong saja tidak membalas telepon maupun pesannya.
Aku hanya merasa kami punya hobi yang sama tentang lingkungan sejalan dengan pekerjaan kami mengurus lingkungnan.
Apakah aku memberikan sinyal yang salah sehingga Aditya mengira aku memberikan sinyal – sinyal cinta?
Jam sudah menunjukkan pukul 24.10 ketika aku melihat jam dinding di kamarku, ada apa dengan diriku. Aku tidak pernah berjaga sampai jam segini pikirku. Ku paksakan diri untuk tidur, aku tidak mau besok aku terlambat bagun sholat subuh.
Aku memejamkan mata sambil berulang kali membaca doa mau tidur , surat ikhlas, surat An-nas, surat …, akhirnya aku tertidur tapi aku tidak pasti jam berapa aku baru tertidur pulas. 

***

Aku mendengar suara air dari kamar mandi, dengan sangat malas aku membuka mata, melihat ke jam dinding sudah jam 05.05 berarti sebentar lagi subuh. Tapi mataku masih terasa pedih untuk dibuka, berarti aku kurang tidur semalam. Tapi aku tidak mau sampai ibu memanggilku untuk sholat subuh berjamah. Ku angkat badanku dari ranjang, berjalan malas menuju kekamar mandi untuk mengambil wudhu, menyusul ke ruang tengah untuk bergabung sholat subuh bersama ibu dan ayah.
Selesai sholat subuh, aku meminta izin kepada ibu untuk tidak ikut jalan pagi minggu ini. Sekalian memberitahukan kepada ibu dan ayah, jam 9.30 nanti aku akan menjemput teman yang datang dari Tanjung Pinang dan mengantarnya ke tempat penginapan.
Ibu meliha ke arahku “ kamu kurang tidur Aisyah, lihat matamu merah. Pergilah istirahat, tapi jangan tidur. Karena tidur di pagi hari akan mengundang sakit.” Ibu mengingatkanku.
‘ Iya ibu, Aisyah hanya mau berbaring saja. sambil berbenah belakang dan membuatkan sarapan untuk ibu dan ayah.” Kataku.
***
Jam 09.10 aku pamit kepada ibu dan ayah untuk kepelabuhan, aku terbiasa dengan tepat waktu jika berjanji. Lebih baik aku yang menunggu daripada aku yang ditunggu.
Ternyata karena angin laut kuat, kapal terlambat sampai di Karimun . Aku harus menunggu agak lama, aku dan Aditya sudah berjanji untuk berjumpa di depan pintu masjid pelabuhan.
Jam 9.50 aku melihat Aditya berjalan menuju kearahku, sambil melambaikan tangan kearahku. Aku hanya tersenyum memandang kearah Aditya.
“ Assalamualaikum,” aku meyapa Aditya setelah dia cukup dekat dengan ku. Lama Aditya memandangku, baru ku dengar suaranya menjawab salamku “ Walaikumsalam.
“ Pasti Aisyah kesalkan karena harus menunggu lama, tapi ini bukan salahku,” kata Aditya, yang salah anginnya kenapa pakai kuat anginnya sehingga kapal tidak bisa berjalan laju.” Lanjut Aditya.
Aku hanya tersenyum, ternyata Aditya tahu aku tidak suka dengan orang yang terlambat.
“ Boleh kita sarapan dulu,” ajak Aditya.
Sebelum aku menjawab aku mendengar suara Aditya “ bukan sarapan, lebih kemakan siang sudah jam 10, sampai tempat makan, nunggu pasti sampai jam 11.”
Kami berjalan menuju motorku, aku memberikan kunci motor kepada Aditya menunjukkan arah rumah makan terdekat dengan pelabuhan. Lurus saja kataku setelah Aditya menyalakan motorku.
Setelah sampai di rumah makan, Aditya mengajak aku duduk di pojokan rumah makan yang masih kosong.
“ Aditya menginap dimana malan ini, besokkan baru acara seminarnya? Tanyaku.
“ Menginap di rumah Aisyah, boleh?” aku terkejut mendengar perkataan Aditya. Belum sempat aku menjawab, Aditya melambaikan tangannya di wajahku sambil berkata “ Aditya main – main saja Aisyah, ekspresi wajahmu menakutkan,” kata Aditya.
“ Aku menginap dirumah kakakku,” jawab Aditya santai.
Aku kaget mendengar jawaban Aditya, ternyata Aditya punya saudara di Karimun.
“ Kenapa Aditya meminta Aisyah yang menjemput? Tanyaku.
“ Aditya rindu sama Aisyah,” katanya pendek.
Hampir tersedak jus alpukat yang sedang aku minum mendengar perkataan Aditya.
Aku melepaskan sedotan dari mulutku, mataku ku arahkan ke wajah Aditya. Ternyata Aditya sedang memandang wajahku, agak risih aku dibuatnya.
“ Aditya jangan bergurau seperti itu, Aisyah tidak suka mendengarnya. “ kataku.
Pelayan sudah menghidangkan pesanan kami, aku langsung berkata “ cepatlah makan, Aisyah akan mengantarkan Aditya ke rumah kakak Aditya setelah makan selesai.” Lanjutku jengah.
Kami makan, tidak terdengan suara Aditya maupun suaruku, kami sepertinya hanyut dengan pikiran kami masing – masing.
Selesai makan, aku berjalan ke kasir. Ingin membayar makanan yang kami makan. Alangkah terkejutnya aku, kasir mengatakan sudah di bayar. Padahal aku menganggap Aditya tamu yang harus aku traktir. Ternyata sudah keduluan. Aditya berdiri di belakangku, mungkin karena tidak fokus dengan pembicaraan kami sedari pelabuhan tadi. Aku menggangap Aditya tidak kenal dengan seluk beluk Karimun.
Untuk menghilangkan rasa malu, aku berjalan keluar rumah makan terus menuju tempat motorku di pakir oleh Aditya.
Aku tidak berkata – kata lagi, Aditya menstater motorku dan mengarahkannya kearah costal area. Aku hanya tercegang melihat motorku di arahkan kesana, tak lama aku mendengar suaru Aditya.
“ Kita perlu bica serius Aisyah,” sebentar saja Aditya janji katanya.
“ Atau kita bicaranya di rumah Aisyah saja? lanjut Aditya.
“ iya, Jawabku spontan.” Aku hanya memikirkan tadi aku  tidak pamit untuk berlama – lama diluar. Aku tidak mau merusak kepercayaan ibu dan ayah kepadaku.
Tanpa bertanya kepadaku, dimana rumahku Aditya langsung saja membelokkan arah motor dari costal area kembali ke jalan A. Yani melewati puakang dan belok dipasar Maimun dan lurus ke arah Meral. Aku hanya terdiam di belakang motor. Sesampainya di depan kantor Bea Cukai Meral Aditya belok menuju arah kampong bukit menuju kerumah orang tuaku.
Aku terkejut, ketika Aditya memakirkan motorku pas di depan rumah orang tuaku.
Ayah dan ibu sedang duduk santai ketika kami sampai, Aditya membuka pintu pagar rumahku dan mengucapkan salam.
“ Assalamualaikum Mak Long Pak Long, “ Ucapnya.
Ayah ibu menjawab serentak “ Walaikusalam, baru sampai? Katanya jam 9.30 kenapa baru sampai sekarang,” kata Ibuku kepada Aditya.
Aku binggung melihat cara mereka berbicara, seperti seperti sudah kenal lama.
“ Aisyah kenapa masih di luar masuk,” ku dengar suara ibu memanggilku.
Aku masuk kerumah, Aditya sudah duduk berdampingan dengan ayah di teras rumahku.
“ Ini anak Mak Uncu mu, adiknya Mila,”  ibu menjelaskan.
“ Aditya sudah berkabar mau datang,” kata ayah.
Ibu dan ayahku berdiri bersamaan, ku dengar kata ibu “ Aditya mau mengatakan sesuatu kepadamu Aisyah.” Ibu dan ayah akan meninggalkan kalian berdua. Ibu dan ayah meninggalkan kami di teras rumah.
Aku seperti di tipu oleh Aditya, lama aku memandang wajah Aditya.
“ Mengapa Aisyah memandang Adity seperti itu, Gantengkan.” Usik Aditya.
“ Mengapa Aditya tidak pernah mengatakan kalau kita bersaudara? Aditya sengaja mau mempermaikan Aisyahkan,” kataku kesal.
“ Aisyah yang tidak pernah bertanya kepada Aditya, setiap kita berbicara ataupun bertulis pesan Aisyah selalu menjaga jarak dan hanya berbicara yang menyangkut hobi kita sama. “
“ Coba Aisyah ingat baik – baik, setelah dua bulan pertemuan kita di Batam. Aditya berusaha memancing Aisyah untuk bercerita tentang keluarga tapi Aisyah sengaja mengalihkan pembicaran.”
“ Selama enam bulan ini, Aditya selalu menurutkan apapun yang Aisyah inginkan tapi Aditya tidak bisa bertahan lebih lama lagi.”
“ Karena itu hari ini Aditya mau menuntaskan semuanya.” Kata Aditya sambil menatap lekat kearah wajahku.
“ Aditya menyukai Aisyah, bukan hanya mengingikan Aisyah sebagai kekasih tapi lebih dari itu maukah Aisyah menjadi pendamping hidup Aditya.”
“ Kalau masih belum faham juga, sudikah Aisyah menjadi istri Aditya yang sah oleh hukum agama,” aku tidak membayangkan Aditya yang selama enam bulan ini aku kenal bisa seserius ini.
Bukan karena aku tidak mau serius tapi bagiku, hubungan jarak jauh akan mendatangkan masalah, aku tidak percaya dengan hubungan jarak jauh. Banyak teman sekantorku yang perkahwinannya tidak langgeng karena suami istri tidak pada tempat yang sama. Aku tidak mau perkahwinanku nanti akan sama seperti teman sekantorku.
“ Aditya, sudahkah memikirkan bagaiman perkahwinan kita nanti.”
 ‘ Aisyah di Karimun, Aditya di Tanjung Pinang. Jarak akan memisahkan kita. Aisyah tidak mau setelah menikah kita berpisah, itu juga yang menjadi penyebab mengapa Aisyah selalu mengalihkan pembicaraan jika Aditya sudah mulai membicarakan hal yang agak pribadi. Bukannya Aisyah tidak paham arah pembicaraan Aditya, maafkan Aisyah. Kataku.
“ Mungkin Aisyah menggangap Aditya juga tidak memikirkan hal ini.  Alhamdulillah jika kita bersungguh – sungguh dengan niat kita maka Allah akan mempermudah segalanya.”
“ Sudah lama Aditya memperhatikan Aisyah setiap pulang sebelum Ramadhan dan pulang untuk berlebaran bersama keluarga. Sudah dari Aisyah SMA, Aditya suka sama Aisyah. Aisyah adalah tipe istri yang Aditya cari, perempuang sholehah yang kelak menjadi ibu anak – anak Aditya, Inshaaallah.”
Sebenarnya tiga bulan yang lalu, Aditya sudah datang melamar Aisyah kepada ibu dan ayah Aisyah. Lalu  ibu dan ayah Asiyah Ta’aruf kita, karena itu sebulan yang lalu masihkan Aisyah ingat waktu Aditya menelepon mengatakan maukah Aisyah menjadi kekasih Aditya.
 Aisyah menjawab, berikan Aisyah waktu untuk menjawab.
Dengan tidak menelepon – menelepon Aditya, Aditya tahu Aisyah tidak mau menyakiti Aditya. “
“ Pasti Aisyah memikirkan bagaimana cara menyampaikan kepada Aditya bahwa Aisyah sudah dita’arufkan oleh keluarga.”
“ Sekarang,  Aditya yang jadi tidak sabaran berjumpa dengan Aisyah untuk mengatakan sebenarnya senin nanti Aditya sudah bertugas di Karimun. Dan bulan depan kita menikah, bagaimana Aisyah,” Tanya Aditya.
Ya Allah aku seperti melihat pelangi, pelangi yang biasanya turun setelah gerimis menghilang. Aku baru memikirkan, akan kehilangan teman yang sebenarnya sudah sangat memikat hatiku, tapi aku sudah dita’arufkan oleh keluarga.
Ternyata pelangi itu sangat indah bagi orang – orang yang selalu pasrah kepadanya. Tidak sia – sia sholat tahajuddku setiap malam untuk mendapatkan jodoh yang dapat menerimaku apa adanya. Terima kasih ya Allah atas karunianya, aku tersenyum manis memandang Aditya tanpa bisa berkata apa – apa.







3 komentar:

  1. Keren Bu cerpennya, terus menulis

    BalasHapus
  2. Waduh Ibu Siti Nurbsya ceritanya panjang sekali kaya kereta api hehehe tp bagus banget heppy ending lengkap,,,jd penulis jenre novel saja atsu sudah ya ( bu sri)

    BalasHapus

Postingan Terbaru

Gapai Cita dalam Cinta

Bel panjang berbunyi, aku bergegas melangkah menuju parkiran terlambat sedikit saja pasti banyak ruginya. "Assalamualaikum." Gema ...