Gerimis mengiringi jalanku pagi ini, keluar
dari pintu rumah tadi aku sudah bertekat untuk tidak lagi kembali. Tidak ada
yang menungguku di sana, anak aku tidak punya anak. Suami, suamiku sudah
menjadi milik perempuan lain. Aku hanya isteri di atas kertas seperti cerita –
cerita dalam sinentron Indonesia yang lagi putar tayang di TV swasta.
Berjalan dalam hujan, aku yang biasanya
paling takut kerena gerimis karena gerimis dengan cepat membuatku sakit kepala.
Tapi gerimis pagi ini tidak memberikan efek kepada diriku. Malah yang sangat
sakit sekarang ini adalah hatiku, ya hatiku bagai tercabik – cabik dengan
perkataan bang Rasyid aku menikahimu hanya karena kau punya pendapatan yang
dapat menunjang pendapatanku dalam mengelola rumah tangga tidak lebih. “
Apalagi kau tidak bisa memberikan aku
keturunan, dulu ibuku sangat menyukai dan menyayangi mu, aku tidak mau
mengecewakan ibuku. Maka berbakti dengan cara menikahimu. Sekarang ibu sudah
tiada, aku tidak meminta izin kepadamu untuk menikah. Begitu juga sekarang aku
tidak meminta izin kepadamu untuk membawa Lia istriku selain dirimu untuk
tinggal di rumah ini.”
Perkataan bang Rasyid masih terngiang – ngiang
di teligaku, malam tadi bang Rasyid membawa maduku Lia untuk tinggal bersama
dengan kami.
“ Assalamualaikum.” Aku mendengar suara salam
dari pintu depan. Aku yang lagi duduk di ruang tengah sambil menunggu bang
Rasyid pulang kerja, TV di depanku lagi menayangkan film kartun Upin Ipin yang
menjadi tontonan favoritku. Upin – ipin sudah habis tayang, jam sudah
menunjukkan pukul 19.00 wib. Tak seperti biasanya jam segini biasanya Bang
Rasyid sudah berada di rumah.
Sambil berjalan menuju pintu depan aku menjawab
salam “ Walaikumsallam.”
Aku memegang gagang pintu dan memutarnya
supaya pintu depan terbuka.
“ Agak malam pulangnya Bang?”
Bang Rasyid tidak menjawab pertanyaanku
“ Masuk Lia, ini rumahmu juga.” aku mendengar
suara Bang Rasyid berbicara kepada seseorang. Sambil melihat ke belakang Bang
Rasyid aku melihat seorang perempuan dalam perkiraanku umurnya baru sekitar 28
atau 29 tahun. Perempuan ini hamil kataku dalam hati, karena baju yang
dikenakannya memperlihatkan tonjolan di bagian perutnya.
“ Buatkan susu hangat.” Bang Rasyid memandang
dan menyuruhku membuatkan susu hangat untuk tamu yang aku perkirakan bernama
Lia mendengar Bang Rasyid waktu menyuruh tamu itu masuk ke rumah.
Aku berjalan menuju dapur untuk membuatkan
susu hangat seperti permintaan Bang Rasyid. Aku juga membuatkan Kopi susu
kesukaan Bang Rasyid. Aku mengangkat nampan yang berisi minuman menuju ruang
tamu.
Bang Rasyid dan tamunya duduk bersebelahan di
kursi tamu, aku melihat tangan Bang Rasyid memegang perut perempuan yang
bernama Lia itu, hatiku bagaikan terisi pisau dan tercabik – cabik tapi aku
berusaha tenang. Siapa tahu Lia ini saudara Bang Rasyid, aku mengenal betul
suamiku.
Bang Rasyid terkenal dengan baik hati dan
suka menolong jika ada saudaranya yang terkena musibah. Walau kadang – kadang
Bang Rasyid sudah kehabisan uang pribadinya Bang Rasyid tidak sungkan untuk
meminjam uang hanya untuk membantu saudaranya yang terkena musibah.
Kadang – kadang aku jengkel tapi karena sudah
terbiasa aku harus menerima karena Bang Rasyid adalah suamiku.
Aku berjalan mendekati mereka, menurunkan
sedikit nampan yang ku bawa supaya mudah meletakkan susu dan kopi di atas meja
di depan Bang Rasyid dan tamunya Lia
Bang Rasyid melihatku, tapi tangannya tidak
beralih dari perut Lia yang dibelainya.
“ Aisyah ini Lia. Madumu.” Aku mendengar
suara Bang Rasyid yang membuat aku kaku tidak bisa berbuat apa – apa.
Aku tidak bisa duduk, hanya berdiri memandang
Bang Rasyid dan tamunya Lia. Melihat aku hanya berdiri saja baru Bang Rasyid
melepaskan tangannya dari perut Lia dan berdiri meraih tanganku dan membimbing
aku untuk duduk di salah satu kursi di ruang tamu kami.
Setelah aku duduk, Bang Rasyid kembali duduk
di sebelah tamunya Lia.
Suasana ruang tamu kami hening, aku hanya
memandang Bang Rasyid dari mataku aku tahu Bang Rasyid tahu aku meminta
penjelasan dari semua ini.
Bang Rasyid menggenggam tangan perempuan yang
duduk di sampingnya. Sambil berkata “ Aisyah aku tidak meminta izinmu untuk
menikah lagi, pasti kau tahu alasan aku menikah lagi.”
Aku jadi mengingat percakapan kami beberapa
waktu yang lalu
“ Bang kita ambil anak angkat yuk.”
“ Teman satu kantorku juga mengangkat anak,
prosedurnya tidak susah. “
Aku melihat reaksi Bang Rasyid
“ Tidak usah aku tidak mau mengangkat anak.”
“ Banyak ponaanku yang bisa tolong daripada
menolong anak orang lain.”
Itu sudah yang kesekian kalinya aku membujuk
Bang Rasyid untuk mengangkat anak.
Memang benar Bang Rasyid punya banyak
keponaan yang bisa kamu bantu, tapi mereka hanya pada hari tertentu saja bisa
kami ajak berjalan – jalan. Bukan karena aku pelit tapi aku butuh teman untuk
diriku sendiri. Umurku tidak muda lagi, dokter sudah mengatakan tali eterusku
pendek kemungkinan besar jika aku hamil aku akan kehilangan bayiku seperti di
awal pernikahan kami, aku pernah hamil sebanyak tiga kali.
Ternyata inilah sebenarnya yang menjadi
penyebab Bang Rasyid tidak mau mengangkat anak.
Aku dan Bang Rasyid memang dijodohkan oleh
keluarga, Ibuku dan Ibu Bang Rasyid teman sedari Sekolah Dasar. Mereka telah
berjanji jika mereka kelak mempunyai anak jika satu laki – laki dan satu
perempuan mereka mau menjadi saudara dengan menikahkan anak mereka. Jika
keduanya laki – laki atau keduanya perempuan mereka berharap akan berteman
seperti mereka.
Kebetulan aku anak kedua dari ibuku yang
berjenis kelamin perempuan sementara Abangku satu – satunya tidak mungkin dinikahkan
dengan Bang Rasyid anak teman ibuku.
Aku sudah menyukai Bang Rasyid sejak dari
kecil, Ibu Bang Rasyid selalu membawa Bang Rasyid untuk bermain di rumah kami
setiap hari libur. Kami selalu mengadakan acara keluarga entah itu makan di
rumah ibuku atau makan di rumah ibu Bang Rasyit. Bahkan tidak jarang kami
berjalan ke tempat rekreasi bersama – sama. Aku sangat menyukai Bang Rasyid
yang selalu menjagaku tidak seperti Abangku yang selalu usil menganggu dan
menjahiliku.
Bukan karena sering bertemu aku jatuh cinta
kepada Bang Rasyid seperti kata orang jawa Witing Tresno Jalaran Soko Kulino.
Tapi aku hanya mau berbakti kepada ibu, sama seperti Bang Rasyid yang tidak mau
mengecewakan ibunya. Pada akhirnya kami menikah. Aku selalu berfikir semua
pasti ada rahasia di balik kejadian yang sudah ditentukan oleh Allah, begitu
juga dengan pernikahanku dengan Bang Rasyid.
Kami sudah menikah selama 12 tahun, dan aku
tidak pernah sekalipun mencurigai Bang Rasyid akan selingkuh apalagi sampai
memaduku. Bang Rasyid selalu penuh perhatian,
“ Aku tidak akan pernah meninggalkanmu Asyiah
walaupun kamu tidak memberikan aku keturunan.” Itu kata – kata Bang Rasyid
ketika aku harus kehilangan bayi dalam rahimku pada usia kandunganku enam
bulan.
“ Ibu harus bedrest jika ingin punya anak.”
Itu kata dokter kandunganku setelah satu bulan aku harus cek kebersihan
rahimku.
“ Ibu masih bisa hamil, tapi itu syaratnya.”
Kata dokter itu masih jelas tergiang di telingaku.
Bang Rasyid menggemggam erat tanganku sambil
mendengarkan penjelasan dokter kandungan yang merawatku.
***
Waktu berlalu tahun kesepulu perkawainanku
ibu dan mertuaku meninggal mereka sepertinya berjanji untuk mati dalam jangka
waktu yang sama. Aku masih ingat betul percakapan terakhirku dengan mertuaku
sewaktu menjenguk beliau sakit.
“ Aisyah, waktu ibu sudah tidak lama lagi.”
“ Jaga Rasyid baik – baik, ibu titip Rasyid
sama Aisyah.” Mertuaku berkata lemah.
Aku hanya mengiyakan saja permintaan mertuaku
yang sedang sakit sambil berkata
“ Bang Rasyid sudah dititip pesan yang sama
sewaktu Ibu Aisyah mau meninggal dua minggu yang lalu bu.”
“ Aisyah yakin ibu sembuh.’”
“ Ibu harus terus menemai Aisyah, jangan
tinggalkan Aisyah seperti mama.” Aku berkata sambil rebahan di sisi tempat tidur
mertuaku.
Malam itu aku dan Bang Rasyid menginap di
rumah mertuaku. Jam 02.00 dini hari mertuaku meninggal dunia yang fana ini, aku
kehilangan dua ibu sekaligus dalam waktu yang tidak lama.
Setelah Ibu meningal Bang Rasyid juga tidak
menunjukkan tanda – tanda berubah. Sampailah malam itu malam yang tak pernah
aku duga.
Lama aku terduduk diam tanpa dapat berkata
apa – apa, aku hanya melihat pemandangan di depanku bagaikan lagi menonton
sinetron Indonesia yang selalu mempertontokan suami membawa wanita lain. Tapi
ini terjadi di kehidupanku, bukan sinteron TV. Aku yang selalu gregetan
menontonya dengan memberikan komentar bodoh sekali mau dimadu minta cerai saja,
komentar lain yang sering aku ucapkan adalah masak ada sih cerita seperti ini
di kehidupan nyata.
Ternyata ini terjadi di kehidupanku, aku
hanya terdiam tanpa bisa memberikan komentar – komentar seperti sewaktu
menonton TV.
Aku tidak mendengarkan apa yang dikatakan
oleh Bang Rasyid, seingatku aku melihat Bang Rasyid membimbing wanita itu ke
kamar tamu kami, menutup pintu kamar. Aku masih terduduk diam di ruang tamu,
lama tanpa tahu mau berbuat apa.
Aku merasakan letih yang tidak terkira, tanpa
ku sadari aku berdiri melangkah menuju kamar tidurku, membuka pintu dan masuk
menuju lemari pakaian. Aku mengambil semua pakaianku dan memasukkan kedalam tas
yang terlebih dulu kuraih di bawah lemari.
Aku tidak menyusun rapi seperti kebiasaanku
jika hendak berpergian, aku memasukkan semua bajuku lalu menutup retsliting
tas. Aku berdiri menuju meja kecil di samping tempat tidur mengambil dompet
yang berisi semua barang – barang berharga milikku. Aku menghempaskan badan di
tempat tidur duduk termenung aku harus pergi dari rumah ini, aku tidak mau di
sini lagi.
Tapi mau kemana aku tengah malam begini, aku
memandang jam di dinding kamar tidurku jam 01 malam. Aku lelah tak ada yang
bisa aku pikirkan kecuali aku harus keluar dari rumah ini.
Detik berlalu berganti menit akhirnya jam
berubah, aku mendengar bunyi air turun dari langit. Gerimis bathinku, aku
memandang jam sekali lagi sudah jam 04 subuh. Aku berdiri dari tempat tidurku
berjalan mengambil tas bajuku. Keluar kamar menuju pintu depan.
Perlahan aku menggenggam gagang pintu
memutarnya aku keluar, menutup kembali pintu dengan pelan. Aku keluar berjalan
dalam hujan. Aku sudah tidak melihat lagi rumahku, baru aku terpikir seberapa
jauh aku kuat berjalan. Aku berlari kembali ke arah rumah. Membuka pelan pintu
depan, masuk keruang tengah mengambil kunci motorku. Rumah masih sepi belum ada
tanda – tanda ada yang bangun bergegas aku menuju pintu depan membuka dan
menutupnya kembali. Menuju garasi membuka dan mengeluarkan motorku. Aku
mendorong motorku sampai di ujung gang rumah.
“ Assalamulaikum Bu Aisyah.” Sapa salah satu
tetanggaku yang mau berangkat ke masjid. Suara orang mengaji sudah terdengar
dekat masjid yang berada di daerah rumahku.
“ Pagi sekali, mau kemana Bu?” aku masih
mendengar suara tetangga ku
Aku hanya tersenyum tipis tidak menjawab
pertanyanya, hanya kalimat singkat yang keluar dari mulutku.
“ Permisi pak saya duluan.” Sambil aku
menghidupkan motorku. Meletakkan tas pakaianku di depan. Aku melaju mengendarai
motorku.
***
Gerimis semakin kuat, hujan membasahi aku.
Tapi aku tidak memberhentikan motorku, padanganku kabur oleh air hujan yang
turun dengan lebat. Persimpangan jalan di depanku membuatku bingung jalan mana
yang mau kutempuh. Ke kanan aku akan keluar kota, ke kiri aku akan masuk ke
dalam kota. Akhirnya aku memutuskan untuk mengambil jalan ke kanan, aku
akan ke rumah orang tuaku, masih ada
ayah di sana.
Tapi apa yang akan aku katakan kepada ayah,
jika ayah bertanya kenapa pulang apa yang akan kujawab. Libur, sekarang tidak
sedang libur. Cuti ini bukan akhir tahun untuk mendapatkan cuti tahunan.
Akhirnya aku tidak jadi mengambil jalan ke
kiri, aku mengarahkan motorku ke kanan. Terus melaju melewati masjid, baru aku
tersadar kalau aku belum sholat subuh. Aku menghentikan motorku. Orang – orang
sudah pada keluar dari masjid berarti subuh belum berlalu. Aku mengangkat tas
pakaianku, menuju tempat wudhu. Mengambil wudhu berjalan menuju dalam masjid.
Aku meletakkan tas pakaianku membuka dan mengambil mukena dan memulai sholatku.
Entah kapan air mata ini mengalir, lama aku
mengadu kepada Nya. Apa salahku begitu banyak yang kukatakan pada-Nya. Tak
terasa sudah jam 06 pagi, seseorang menghampiriku
“ Ibu, ibu baik – baik saja.”
Ternyata penjaga masjid yang bertanya
kepadaku
“ Ibu kelihatanya lelah sekali, ibu mau
beristirahat di kamar masjid. Jika ibu mau saya akan mengambilkan kuncinya.
Tanpa ragu aku menganggukkan kepalaku. Aku
bangun dari dudukku berdiri dan melangkah mengikuti penjaga masjid itu.
Kami berjalan ke samping masjid menuju kamar
yang aku tempati, penjaga masjid membuka kunci kamar.
“ Silakan Ibu Istirahat.” Kata penjaga masjid
sambil memberikan kunci kamar kepadaku.
Aku mengunci kamar dari dalam, kamarnya tidak
besar hanya ada tempat tidur single meja kecil disampingnya dan satu kursi. Aku
berjalan menuju tempat tidur meletakkan tas pakaianku di bawahnya aku duduk
ditempat tidur tanpa membuka jilbabku aku merebahkan badan. Terasa lelah sekali
tanpa terasa aku sudah tertidur.
***
tidurku, aku meraih lemah handphoneku dan mengangkatnya.
“ Assalamualaikum.”
“ Aisyah kamu di mana sudah jam 11 siang,
kamu ditanya sama Bos. Aku bilang saja kamu lagi sakit. Jadi izin Pak.” Ku
dengar suara Mutia kolegaku di kantor.
“ Terima kasih, iya aku sakit tertidur jadi
lupa menelepon kantor.” Aku beralasan.
“ Pasti kamu sakit, tidak biasanya kamu tidak
memberi kabar jika tidak masuk kantor, ya sudah kamu istirahat saja.” aku
mendengar celoteh mutia dari seberang sana.
“ Assalamualaikum,” aku menutup percakapan
dengan Mutia.
Aku memandang sekeliling, hanya cat putih
yang aku lihat. aku mendengar ketukan dari arah pintu, aku berdiri perlahan
menuju pintu dan membukanya.
“ Assalamualaikum.” Suara seorang wanita
mengucapkan salam.
“ Walaikumsallam.”
“ Saya Ibu Warni yang bantu – bantu masjid.”
Ibu sehat.
“ Saya ada bawakan teh hangat dan sedikit
makanan.” Bu Warni menyodorkan nampan yang berisi teh hangat dan sepiring nasi
goreng.
“ Ya Allah,” Aku terduduk dari tidurku,
“ Ibu, ibu tidak apa – apa .” Bu Warni
meletakkan nampan yang dibawanya ke lantai dan memegang pundakku. Aku menangis
seperti melihat Ibu yang berdiri di depanku sewaktu membuka pintu melihat Ibu
warni di depan pintu.
Aku memeluk dan menangis sambil memeluk Bu
Warni
“ Saya tidak kuat bu.” Aku mengadu kepada Bu
Warni.
“ Ibu mandi dulu, disebelah ada kamar mandi.”
Bu Warni menujuk kamar mandi yang berada disebelah kamar yang aku tempati.
“ Sudah segar nanti kita bicara lagi, saya
masih ada pekerjaan. Nanti saya kembali.”
Aku melepaskan pelukkanku dan tersadar Dia
bukan Ibuku.
“ Maaf aku mengganggu Ibu, terima kasih sudah
membawakan aku makanan.”
Bu Warni mengambil nampan yang diletakkan di
lantai berdiri berjalan masuk dan meletakkan nampan di atas meja kecil yang ada
di kamar.
“ Saya permisi dulu Bu.” Bu Warni pamit
kepadaku.
Aku menutup pintu dan menguncinya, memandang
teh dan nasi goreng di nampan. Aku duduk di ranjang, badanku terasa lemah
mungkin kena hujan tadi subuh. Aku mengeluarkan baju bersih dari tas, aku harus
mandi, aku harus kuat. Seperti mendapat kekuatan yang entah dari mana, mungkin
dari masjid ini aku mendapatkan kekuatan. Aku membuka kunci kamar menuju kamar
mandi yang berada disebelah kamar yang ku tempati.
***
Suara azan Zhuhur sudah terdengar, aku
melangkah keluar kamar dengan memakai mukena masuk ke dalam masjid untuk
berjamaah bersama jamaah yang lain. Selesai berjamaah sholat zhuhur, jamaah
meninggalkan masjid. Aku masih duduk bersimpuh, aku berkomunikasi dengan Allah.
Tiba – tiba ada tepukan lembut di punggungku, aku menoleh dan melihat BU Warni
tersenyum kearahku.
“ Ibu maaf mengganggu, ibu sudah enak, kan?”
sambil tersenyum Bu Warni bertanya kepadaku.
“ Alhamdulillah bu agak enakan.” Jawabku
“ Memang Allah tempat curhat yang paling
bijaksana, teruslah berbicara dengan-Nya pasti kita akan tenang.”
Aku mendengarkan perkataan Bu Warni, wanita
sederhana aku merasa nyaman mendengar dan menatap wajah keibuannya.
“ Kalau ibu perlu apa – apa, ibu terus aja ke
belakang masjid di sana ada rumah, saya tinggal di sana.” Kata Bu Warni
“ Saya tinggal dulu, masih ada pekerjaan yang
masih harus saya buat.”
Aku memandang punggung Bu Warni berjalan
menjauh dariku, aku masih duduk ingin bercerita kepada-Nya tentang laraku.
Aku tahu aku bukan hambanya yang kuat, aku
tahu perceraian adalah halal tapi paling di benci – Nya tapi tidak ada lagi
jalan lain, hanya itu yang aku pikirkan sekarang ini.
***
“ Assalamualaikum.” Suaranya tidak asing Bu
Warni
“ walaikumsalam.” Jawabku sambil membuka
pintu kamar
Wajah teduh itu berdiri di luar pintu dengan
senyum yang menyejukkan hatiku, tidak perlu dia berkata – kata cukup memandang
wajah dan senyumnya aku sudah merasa sedikit terobati sakit hati ini.
“ Kita main di rumah Saya, sambil minum
sore?” ajak Bu Warni.
“ Ibu mau kemana?” Bu Warni melihat aku sudah
berkemas – kemas.
“ Malam ini ibu menginap di sini saja, biar
bisa sholat malam di masjid. Nanti saya temani.” Penawaran Bu Warni mengiurkan hatiku.
“ Memang boleh Bu?” ya boleh saja tapi ada
infaknya, Bu Warni berkata dengan lugu.
“ Dari pada nginap di hotel, Mahal.” Lanjut
Bu Warni
Aku tersenyum tipis mendengar perkataan Bu
Warni,
“ Ayo ke rumah saya.” Sekali lagi Bu Warni
mengajak aku main ke rumahnya.
Aku menutup pintu kamar masjid berjalan
berdampingan dengan Bu Warni menuju rumahnya di belakang masjid.
Rumah yang sederhana, bersih ada dipan kecil
di depanya seperti rumah – rumah di desa. Terasa nyaman melihatnya, di atas
dipan sudah ada teh dan goreng – gorengan. Terlihat masih panas gorengannya,
“ Anakku yang menggorengnya.” Tak lama
kemudian gadis berumur 15 tahun keluar dari dalam rumah membawa gorengan lain
ditangannya.
“ Silakan dicicipi Bu” tawar anak gadis itu.
Aku mengambil posisi duduk di atas dipan,
begitu juga dengan Bu Warni. Bu Warni bercerita tentang kehidupnya menjadi
penjaga masjid bersama suami dan anak satu – satunya yang tadi mengantarkan
gorengan buat kami.
Aku makan ubi goreng sambil menyeruput teh
yang sudah dihidangkan, Bu Warni tidak sedikitpun bertanya tentang kisahku. Bu
Warni bercerita kegiatannya sehari – hari. aku sepertinya sangat terhibur
dengan cerita Bu Warna sampai – sampai aku lupa bahawa aku sangat terluka
dengan perbuatan Bang Rasyid.
Sudah hampir satu hari aku meninggalkan
rumah, tapi tidak ada telephone dari Bang Rasyid yang menanyakan keadaanku,
terlalu.
“ Ibu, jangan melamun. Sudah mau magrib.”
Suara Bu Warni memberhentikan aku memikirkan Bang Rasyid.
“ Iya sudah mau magrib, saya pulang ke kamar
dulu Bu. Terima kasih atas suguhannya.” Aku berdiri dan mengucapkan salam
sambil berlalu dari hadapan BU Warni.
***
Aku memandang langit – langit kamar masjid,
serba putih dengan perabotan ala kadarnya. Tapi aku nyaman di sini, untung Bu
Warni menawarkan kamar ini untukku. Aku merasa tenang dengan mendengarkan
alunan ayat – ayat suci alquran, keheningan ini bisa membimbingku berpikiran
jernih.
Mungki jika aku jadi menginap di hotel aku
tidak tahu apa yang akan aku lakukan . Bisa saja aku melakukan hal – hal yang
membuat diriku rugi, aku bersyukur dalam hati walaupun aku hancur oleh
perbuatan Bang Rasyid aku masih dilindunginya dengan mengarahkan motorku menuju
masjid ini dn bertemu dengan Bu Warni serta keluarga yang menurutku merupakan
perpanjang Allah untuk menuntunku. Tersenyum pahit dengan diriku sendiri, aku
harus tidur dan bangun jam 02 nanti untuk berbicara lagi pada – Nya. Mataku ku
pejamkan sambil menbaca ayat – ayat pendek dan doa tidur.
***
Bagaikan dikomando aku terbangun jam 02.00
aku membuka pintu kamar berjalan kesebelah menuju kamir mandi mengambil wudhu
kembali ke kamar mengenakan mukena.
Mengunci pintu kamar, berjalan menuju dalam
masjid. Aku mengambil posisi di samping kanan kubah. Aku tidak memperdulikan
orang yang sudah ada beritikab di depan sana. Aku membaca niat sholat tahajjud,
Allahuakbar aku memulai sholat tahajjudku.
Selesai 8 rakaat sholat tahujjud aku
melanjutkan dengan sholat hajat. Assalamualaikum aku mengucapkan salam. Lama
aku berdialog dengan – Nya. Aku tidak mengindahkan orang – orang yang ada di
sekitarku yang juga ingin berdialog dengan di tengah malam sunyi ini.
Entah berapa banyak air mata ini yang keluar,
entah berapa banyak aku meminta dan akhirnya aku menutup doaku dengan satu
tekat aku akan kembali menjalani hidup dengan kesendirian yang akan lebih
membuatku bahagia.
Mungkin ini adalah tanda Allah mencintaiku,
aku terlalu mudah mendapatkan apa yang aku inginkan selamanya ini sebagai anak
perempuan satu – satunya tidak pernah merasakan pendirian yang seperti sekarang
ini. Banyak di luar sana aku mendengar bagaimana anak menantu tidak pernah akur
dengan mertua perempuannya. Aku bagaikan punya ibu dua, aku selalu serba
kecukupan, dalam doa aku selalu berharap yang terbaik. Akhirnya aku berpikir
yang terbaik menurut kita belum tentu terbaik dari sisi sang penciptanya,
begitu juga dengan keadaanku sekarang ini. Menurutku mungkin tidak baik tapi
aku tidak tahu rahasia apa di sebalik semua ini. Aku hanya berharap keputusanku
untuk bercerai juga terbaik menurut – Nya untukku. Aku memandang langit –
langit masjid berharap yang terbaik dari _ Nya.
Mungki jika aku jadi menginap di hotel aku
tidak tahu apa yang akan aku lakukan . Bisa saja aku melakukan hal – hal yang
membuat diriku rugi, aku bersyukur dalam hati walaupun aku hancur oleh
perbuatan Bang Rasyid aku masih dilindunginya dengan mengarahkan motorku menuju
masjid ini dn bertemu dengan Bu Warni serta keluarga yang menurutku merupakan
perpanjang tangan Allah untuk menuntunku. Tersenyum pahit dengan diriku
sendiri, aku harus tidur dan bangun jam 02 nanti untuk berbicara lagi pada –
Nya. Mataku ku pejamkan sambil menbaca ayat – ayat pendek dan doa tidur.
***
Bagaikan dikomando aku terbangun jam 02.00
aku membuka pintu kamar berjalan kesebelah menuju kamir mandi mengambil wudhu
kembali ke kamar mengenakan mukena.
Mengunci pintu kamar, berjalan menuju dalam
masjid. Aku mengambil posisi di samping kanan kubah. Aku tidak memperdulikan
orang yang sudah ada beritikab di depan sana. Aku membaca niat sholat tahajjud,
Allahuakbar aku memulai sholat tahajjudku.
Selesai 8 rakaat sholat tahujjud aku
melanjutkan dengan sholat hajat. Assalamualaikum aku mengucapkan salam. Lama
aku berdialog dengan – Nya. Aku tidak mengindahkan orang – orang yang ada di
sekitarku yang juga ingin berdialog dengan di tengah malam sunyi ini.
Entah berapa banyak air mata ini yang keluar,
entah berapa banyak aku meminta dan akhirnya aku menutup doaku dengan satu
tekat aku akan kembali menjalani hidup dengan bang Rasyid.
Hidup adalah pilihan, mau bahagia atau
sebaliknya. Menerima semuanya dengan ikhlas mungkin ada baiknya juga. Selama
ini aku tidak pernah merasakan bang Rasyid memperlakukanku dengan buruk, aku
juga belum menanyakan apa yang dimau oleh bang Rasyid.
Musyawarah dan mufakat sudah menjadi cirri
orang Indonesai, aku harus bermusyawarah dengan bang Rasyid dulu sebelum
menentukan apa langkah yang akan kami ambil untuk rumah tangga kami setelah itu
baru kami mufakat atas tindakan yang akan menentukan masa depan kami ke depan.
Aku berdiri dari dudukku, melangkah menuju
keluar masjid menuju kamar yang beberapa hari ini menjadi tempat aku
merenungkan semuanya dan mendapatkan pelajaran bathin dari kedua orang
sederhana pengaja masjid.
Membuka pintu kamar, melangkah masuk
membereskan semua barang – barangku dan memasukkannya ke dalam tas bawaanku.
Memandang handphone yang sudah beberapa hari aku matikan, menyalakannya. Begitu
banyak panggilan tak terjawab dari bang Rasyid, sms-pun ada banyak. Aku membuka
satu pesan teratas dari bang Rasyid. Aku membaca tulisan yang terlulis di situ
:
“ Aisyah, Aisyah kemana? Pulanglah kita bisa
membicarakannya. Abang sudah menelepon ke rumah Ayah, tapi Aisyah tidak ada
disana.”
Pesan sms ke dua :
“ Aisyah, Abang tahu Abang mengecewakan
Aisyah. Tapi ini abang lakukan untuk kita. Bukankan Aisyah ingin mempunyai
seorang anak, pulanglah. Abang tahu Aisyah orang yang selalu rasional dalam
menghadapi segala permasalahan.
Pesan SMS ke tiga :
“ Aisyah, Abang tidak akan melepaskan Aisyah.
Pulanglah, kita akan menyelesaikan semuanya. Abang janji abang akan menurut
dengan apapun yang menjadi keinginan Aisyah.”
Pesan SMS ke empat :
Aisyah, dimana pulanglah jangan buat Abang
cemas dengan keberadaan Aisyah. Ayah juga sudah ada di rumah kita sekarang.
Pulanglah Aisyah.
Pesan SMS ke lima , enam, tujuh ……dua puluh
delapan. Semua isi pesan meminta aku untuk pulang dan membicarakan masalah yang
sedang kami hadapi.
Aku melihat satu persatu panggilan tak
terjawab yang aku lewatkan, ada dari kantor. Aku hampir melupakan kantor sudah
3 hari aku tidak memberi kabar kesana.
Ada panggilan dari Ayah juga, selebihanya
sebanyak 30 panggilan tak terjawab dari bang Rasyid.
Aku menekan nomor Ayah, nada sambung
terdengar dari seberang sana. Telephone di angkat, “ Assalamualaikum, aku
mendengar suara ayah yang terlebih dulu member salam.”
“ Walaikum salam, Ayah.” Belum lagi aku
berkata – kata Ayah sudah bertanya akan keberadaanku.
“ Aisyah di mana Nak? Ais baik – baik saja,
Ais adalah panggilan sayang Ayah kepadaku yang selalu membuatku lembut jika
sedang marah. Menetes air mataku mendengar ayah memanggil Ais.
“ Ais baik – baik saja Ayah, maaf Ais tidak
pulang ke rumah. Ais tidak mau menyusahkan Ayah.” Dengan suara berat aku
mengadu kepada Ayah.
“ Ais anak Ayah tidak ada yang akan
menyusahkan Ayah, pulanglah nak. Kita bisa membicarakan ini dengan kepala
dingin.” Begitu menyejukkan hati kata – kata Ayah.
Kenapa aku sampai melupakan keberadaan Ayah,
setelah Ibu tiada Ayah adalah segalanya bagiku.
“ Iya, Ayah. Ais akan pulang.”
“ Ayah tunggu Ais dirumah, Assalamualikum.”
Ayah menutup telephon, Aku tahu ayah pasti sangat sedih. Selama pembicaraan
kami aku sudah mendengar suara berat Ayah menahan tangis. Ini yang sebenarnya
membuatku tidak mau pulang ke rumah Ayah. Ayah pasti akan sangat sedih melihat
kondisi ku jika aku pulang ke rumah Ayah.
Maafkan Ais ayah, Ais sangat menyayangi ayah.
Aku lupa kasih sayang Ayah sepanjang
hayat, sampai kapanpun seorang anak akan tetap menjadi anak bagi orang tuanya.
Telephone sudah di tutup ayah dari tadi, aku bangun dari dudukku mengangkat tas
bawaanku berjalan menuju pintu kamar. Aku mengunci pintu kamar, berjalan menuju
rumah bu di Warni untuk mengembalikan kunci kamar yang aku tempati beberapa
hari ini.
Berjalan menuju rumah bu Warni aku berpikir
betapa sederhananya pola pikir bu warni dan suami. “Hidup sudah susah bu, tidak
usah dibuat susah lagi.” Perkataan bu Warni seakan – akan baru saja diucapkan
diteligaku. Aku harus bisa menerima seperti bu Warni dan suami. Pasti ada
hikmah disebalik semua kejadian yang menimpa diriku, Allah tidak pernah menguji
umatnya diluar kebatasan kemampuannya.
“ Assalamualikum, bu Warni.” Salamku
sesampainya di rumah bu Warni yang penuh dengan kedamainan. Dari dalam aku
mendengar suara seseorang menjawab salamku. Langkah menuju pintu juga terdengar
dari dalam.
“Walaikum salam, “ pintu terbuka. Senyum
ramah bu Warni terhias diwajahnya.
“Bu saya mau pamit, terima kasih sudah menampung
saya selama beberapa hari ini,” suara lembut keluar dari mulut bu Warni
“ Ibu menumpang di rumah Allah, saya hanya
perantaranya saja.” aku menghulurkan kunci kamar kepada bu Warni. Sambil
menyodorkan amplop berisi sedikit uang untuk bu Warni.
“Bu ini untuk kebutuhan sekolah anak Ibu,
jangan menolakknya saya ikhlas.” Bu Warni tidak bisa berkata – kata. Berbalik
arah meninggalkan rumah bu warni berjalan menuju tempat parkir motor.
***
Rumah bang Rasyid sudah di depan mata, rumah
yang beberapa hari ini aku tinggalkan. Ayah, ayah berdiri di depan pintu. Aku
berlari menuju ayah yang terlihat sangat khawatir akan diriku, sambil memeluk
ayah aku tumpahkan air mataku. Aku masih ingat betapa Ayah Khawatir ketika SMP
aku terjatuh dari sepeda, Ayah sampai – sampai mengambil cuti untuk mengurusku.
Begitu juga ketika Ayah mendengar aku harus di kuret karena kandunganku
bermasalah.
Ayah menuntunku kedalam rumah, kami duduk di
ruang tamu, Rumah sepi, belum sempat aku
bertanya Ayah sudah bersuara.
“ Rasyid di rumah sakit, madumu sekarang di
rumah sakit. Ayah baru sampai tadi malam, setelah Rasyid menelepon beberapa
kali menanyakan keberadaanmu. Ayah yakin kalian bermasalah, karena itu ayah
kemari.
Ayah memandang wajahku, sambil berkata “Ayah
berharap Ais tidak melakukan hal bodoh selama pergi dari rumah, tidak ada
masalah yang di uji Allah kepada hambanya diluar batas kemampuan hambanya. Ayah
sudah mengajarkan itu kepada Ais.” Perkataan ayah sangat menyejukkan hati,
menetes air mataku. Ya Allah, aku masih saja memberikan beban kepada Ayah
pikirku dalam hati.
***
Terdengar bunyi mobil memasuki halaman rumah,
aku berdiri berjalan ke pintu melihat siapa yang datang. Aku melihat bang
Rasyid terburu - buru keluar dari mobil. dengan tergesa – gesa, seperti berlari
bang Rasyid masuk kedalam rumah. Di depan pintu depan langkah lebar bang Rasyid
terhenti melihat aku yang membuka pintu untuknya.
Langsung bang Rasyid memeluk diriku, “ Aisyah
kemana saja, Abang Risau memikirkan Ais, Lia dalam keadaan sekarat. Aisyah ikut
Abang ke rumah sakit ya.” Nada suara bang Rasyid memohon kepadaku. Bang Rasyid memandang
ke arah Ayah. “ Ayah ikut ke rumah sakit ya yah.” Ajak bang Rasyid kepada Ayah.
Aku tidak sempat berkata apa – apa bang
Rasyid dan Ayah sudah memegang kiri kanan tanganku menuju mobil bang Rasyid.
Bang Rasyid membuka pintu belakang mobil untuk diriku, sementara Ayah duduk di
depan disebelah bang Rasyid mengemudi mobil.
Dalam perjalanan kami dengan pikiran kami
masing – masing. Ayah, apa dengan Ayah mengapa Ayah mau saja di ajak bang
Rasyid untuk ke rumah sakit. Sementara aku juga kenapa mau saja di ajak bang
Rasyid dan Ayah untuk kerumah sakit. Pikiran masih bercampur aduk, ketika bang
Rasyid memarkirkan mobil di parkir rumah sakit. Sambil membuka pintu mobil bang
Rasyid berkata,” Cepat Aisyah, sambil mengambil tanganku mengajak untuk cepat
keluar dari mobil dan masuk ke rumah sakit. Ayah sudah berjalan di depan,
mendahului Aku dan bang Rasyid.
Melewati lorong – lorong bangsal kamar di
rumah sakit menuju kamar yang paling ujung dari bagian rumah sakit, Ruang ICU
aku membaca papan nama di depan ruang itu. Seorang dokter keluar dari ruangan
ICU, tersenyum dan menyapa bang Rasyid.
“Pak Rasyid di tunggu istri anda di dalam.”
Bang Rasyid mengandeng tanganku menuju ruang ICU, aku melihat perempuan yang
bernama Lia terbaring lemah disana. Beberapa alat sudah terpasang di tubuhnya,
mata lemah Lia memandangku seperti ingin mengatakan sesuatu. Bang Rasyid
mengajak aku untuk lebih mendekat lagi kepada Lia.
Kakak, maafkan Lia sudah menganggu ketenangan
rumah tangga Kakak. Belum sempat Lia dan Bang Rasyid menjelaskan masalahnya
kakak sudah pergi. Sekarang giliran Lia yang akan pergi. Lia titip anak Lia
sama kakak, maafkan kesalahan Lia kak, suara perempuan yang nama Lia itu
seperti bisikan saja di teligaku. Aku memandang perut Lia yang sudah tidak
besar lagi. Lia sudah melahirkan pikirku, tiba – tiba alat yang dipasang pada
tubuh Lia tidak menunjukkan adanya kehidupan hanya bunyi tit tit tit panjang
yang aku dan bang Rasyid dengar. Suara bang Rasyid memanggil dokter,
mengejutkan aku. Aku bergeser memberikan jalan kepada dokter dan perawat untuk
memerikas perempuan bernama Lia itu.
“Maaf pak Rasyid Istri anda sudah tiada, kami
turut berduka cita. catat tanggal kematiannya,”
kata dokter kepada perawat yang datang bersamanya. Aku tidak tahu apa yang
persisnya terjadi, yang aku tahu kami sudah berada di rumah bersama mayat Lia.
Tetangga berdatangan ke rumah turut berbela sungkawa.
***
Sudah
malam ketiga tahlilan kepergian perempuan bernama Lia, tamu sudah pada pulang.
Jam sudah menunjukkan pukul 21.30 malam. Seperti malam kesatu dan dua aku tidur
sendiri di kamar tidur kami, sementara bang Rasyid tidur di ruang tengah dan
ayah tidur di kamar tamu. Baru saja aku mau melangkahkan kaki menuju kamar aku
mendengar Ayah memanggil namaku” Ais, duduk di sini bersama ayah dan Rasyid.”
Tangan Ayah mengarahkan aku untuk duduk disampingnya.
Aku berjalan menuju kearah Ayah, duduk
disamping Ayah. Ayah melihat aku dan bang Rasyid bergantian. Rasyid malam ini
masalah Rasyid dan Aisyah harus tuntas. “Ayah tidak akan memihak kepada
sesiapapun,” Ayah meminta kepada bang Rasyid untuk menjelaskan duduk permasalah
yang menimpa rumah tangga kami.
Namanya Lia, Lia adalah istri dari sepupu
bang Rasyid Iqmal. Dua bulan yang lalu sepupu bang Rasyid mengalami kecelakan
lalu lintas, motor yang dikendarinya terlintas truk gandeng sewaktu melewati
jal Tol. Sebelum meninggal sepupu bang Rasyid berpesan kepada bang Rasyid untuk
mejaga istri dan calon anaknya.
“ Rasyid tidak mau timbul fitnah ayah, karena
itu Rasyid menikah Lia. Lia punya riwayat jantung. Dokter sudah mengingatkan
Iqmal dan Lia tentang kehamilan Lia yang beresiko tinggi.
“Lia sebenarnya tidak mau dinikahi Rasyid,
Yah.” Cerita bang Rasyid, tapi Rasyid meyakinkan Lia. Jika terjadi sesuatu
kepada Lia, Rasyid akan lebih mudah menjaga anaknya dan memenuhi janji Rasyid
kepada Iqmal. Akhirnya Lia setuju Rasyid nikahi. Melihat kondisi Lia yang
semakin parah itulah, Rasyid membawa Lia kerumah ini Ayah.”
“ Sekaran Rasyid dan Aisyah tidak perlu
mengurus itu dan ini yang berhubungan dengan Lia (bang Rasyid memberi nama bayi
Lia dengan Lia sesuai dengan pesan almarhum Lia). Karena Lia sah anak Rasyid
karena Rasyid menikah Lia, Ayah.” Sambil melihat ke arahku dengan tatapan memelas meminta aku
mempercayai ceritanya.
Ya Allah, ternyata bang Rasyid sangat
menyayangiku, semua yang dilakukannya hanyalah untukku.
“ Maafkan Aisyah Bang, aku meraih tangan bang
Rasyid dan menciumnya. “
“ Alhamdulillah semuanya atas kehendak Allah,
“Aisyah bukankah Ayah selalu mengajarkan semua masalah bisa di selesaikan
dengan bermusyawarah. Untuk selama Aisyah pergi tidak terjadi apa – apa dengan
Aisyah.” Kata – kata sangat menusuk kalbuku.
“ Iya, Ayah. Aisyah minta maaf.” Sambil
melepaskan tangan bang Rasyid aku meraih tangan Ayah untuk meminta maaf karena
telah membuat ayah risau.
Dari dalam kamar tidur, aku mendengar suara
tangis kecil dari Liaku, aku berdiri berlari mendapatkan Lia kecilku dan
membawanya keruang tengah. Menuju kearah bang Rasyid aku mencium Lia kecilku,
anak yang akan mengobati deritaku. Terima kasih Ya Allah atas rahmat dan berkah
Mu yang besar buatku.
“Bang, Lia kecil akan Aisyah jaga sebagai
anak Aisyah sendiri.” Aku berkata dan berjanji dihadapan bang Rasyid dan Ayah.
(AZ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar