Gerimis mengiringi jalanku pagi ini, keluar
dari pintu rumah tadi aku sudah bertekat untuk tidak lagi kembali. Tidak ada
yang menungguku di sana, anak aku tidak punya anak. Suami, suamiku sudah
menjadi milik perempuan lain. Aku hanya isteri di atas kertas seperti cerita –
cerita dalam sinentron Indonesia yang lagi putar tayang di TV swasta.
Berjalan dalam hujan, aku yang biasanya
paling takut kerena gerimis karena gerimis dengan cepat membuatku sakit kepala.
Tapi gerimis pagi ini tidak memberikan efek kepada diriku. Malah yang sangat
sakit sekarang ini adalah hatiku, ya hatiku bagai tercabik – cabik dengan
perkataan bang Rasyid aku menikahimu hanya karena kau punya pendapatan yang
dapat menunjang pendapatanku dalam mengelola rumah tangga tidak lebih. “
Apalagi kau tidak bisa memberikan aku
keturunan, dulu ibuku sangat menyukai dan menyayangi mu, aku tidak mau
mengecewakan ibuku. Maka berbakti dengan cara menikahimu. Sekarang ibu sudah
tiada, aku tidak meminta izin kepadamu untuk menikah. Begitu juga sekarang aku
tidak meminta izin kepadamu untuk membawa Lia istriku selain dirimu untuk
tinggal di rumah ini.”
Perkataan bang Rasyid masih terngiang – ngiang
di teligaku, malam tadi bang Rasyid membawa maduku Lia untuk tinggal bersama
dengan kami.
“ Assalamualaikum.” Aku mendengar suara salam
dari pintu depan. Aku yang lagi duduk di ruang tengah sambil menunggu bang
Rasyid pulang kerja, TV di depanku lagi menayangkan film kartun Upin Ipin yang
menjadi tontonan favoritku. Upin – ipin sudah habis tayang, jam sudah
menunjukkan pukul 19.00 wib. Tak seperti biasanya jam segini biasanya Bang
Rasyid sudah berada di rumah.
Sambil berjalan menuju pintu depan aku
menjawab salam “ Walaikumsallam.”
Aku memegang gagang pintu dan memutarnya
supaya pintu depan terbuka.
“ Agak malam pulangnya Bang?”
Bang Rasyid tidak menjawab pertanyaanku
“ Masuk Lia, ini rumahmu juga.” aku mendengar
suara Bang Rasyid berbicara kepada seseorang. Sambil melihat ke belakang Bang
Rasyid aku melihat seorang perempuan dalam perkiraanku umurnya baru sekitar 28
atau 29 tahun. Perempuan ini hamil kataku dalam hati, karena baju yang
dikenakannya memperlihatkan tonjolan di bagian perutnya.
“ Buatkan susu hangat.” Bang Rasyid memandang
dan menyuruhku membuatkan susu hangat untuk tamu yang aku perkirakan bernama
Lia mendengar Bang Rasyid waktu menyuruh tamu itu masuk ke rumah.
Aku berjalan menuju dapur untuk membuatkan
susu hangat seperti permintaan Bang Rasyid. Aku juga membuatkan Kopi susu
kesukaan Bang Rasyid. Aku mengangkat nampan yang berisi minuman menuju ruang
tamu.
Bang Rasyid dan tamunya duduk bersebelahan di
kursi tamu, aku melihat tangan Bang Rasyid memegang perut perempuan yang
bernama Lia itu, hatiku bagaikan terisi pisau dan tercabik – cabik tapi aku
berusaha tenang. Siapa tahu Lia ini saudara Bang Rasyid, aku mengenal betul
suamiku.
Bang Rasyid terkenal dengan baik hati dan
suka menolong jika ada saudaranya yang terkena musibah. Walau kadang – kadang Bang
Rasyid sudah kehabisan uang pribadinya Bang Rasyid tidak sungkan untuk meminjam
uang hanya untuk membantu saudaranya yang terkena musibah.
Kadang – kadang aku jengkel tapi karena sudah
terbiasa aku harus menerima karena Bang Rasyid adalah suamiku.
Aku berjalan mendekati mereka, menurunkan
sedikit nampan yang ku bawa supaya mudah meletakkan susu dan kopi di atas meja
di depan Bang Rasyid dan tamunya Lia
Bang Rasyid melihatku, tapi tangannya tidak
beralih dari perut Lia yang dibelainya.
“ Aisyah ini Lia. Madumu.” Aku mendengar
suara Bang Rasyid yang membuat aku kaku tidak bisa berbuat apa – apa.
Aku tidak bisa duduk, hanya berdiri memandang
Bang Rasyid dan tamunya Lia. Melihat aku hanya berdiri saja baru Bang Rasyid
melepaskan tangannya dari perut Lia dan berdiri meraih tanganku dan membimbing
aku untuk duduk di salah satu kursi di ruang tamu kami. (AZ)(bersambung)
Aduhh ..cerpennya sedih sepertinya ...bagus bu ..nggak sabar edisi lnjutannya ..tapi bikin happy endingnya ..
BalasHapusTerima kasih masukkannya
BalasHapus