Aku
berjalan melewati lorong kelas, di tanganku kudekap di dada buku batas kelas,
buku nilai dan perlengkapan lain untuk masuk mengajar. Selamat pagi kakak,
sepanjang lorong kelas setiap siswa yang berpas – pasan denganku pasti
mengucapkan salam dengan memanggilku kakak.
Untuk
beberapa waktu panggilan itu tidak aku permasalahkan, tapi akhir – akhir ini
agak menggangguku.
Aku
tidak bisa menyalahkan mereka memanggilku kakak, kebetulan kelas XI IPS 2 ada
adikku yang bungsu di sana. Dari adikkulah, mereka mendapat panggilan kakak
untukku.
Aku
sudah memperingatkan adikku untuk tidak memanggilku kakak di dalam lingkungan
sekolah, Dasar adikku latah. Sekali – sekali dia akan memanggilku kakak. Siswa
– siswa yang satu angkatan dengan adiku rata – rata memanggilku kakak. Begitu
juga dengan angkatan dibawah nya.
Sudah
hampir enam tahun aku mengabdi menjadi guru, tapi entah karena apa masih saja
mereka memanggilku kakak.
Entahlah
kebelakangan ini aku agak risih di panggil kakak, mungkin karena gosip – gosip
itu.
“
Masa bu Nia di panggil kakak sama anak -
anak.” Kata bu Linda kepadaku.
“
Saya sudah melarang mereka memanggil kakak, bu Linda.” Aku menjelaskan kepada
bu Linda.
Belum
lama ini, juga secara tidak sengaja aku mendengarkan perbualan bu Nenci dan bu
Ria, yang mengeluhkan anak – anak memanggil aku kakak.
“
Kita ini pendidik di sekolah bukan di tempat les yang bisa di panggil kakak.”
Bu Nenci berkata kepada bu Ria.
“
Iya, saya juga heran sama bu Nia masak mau dipanggil kakak.” Lanjut bu Ria.
Aku
tidak jadi melanjutkan perjalanku ke arah yang sama dengan bu Nenci dan Bu Ria
padahal aku satu jalan menuju kelas yang akan aku ajar. Aku langsung memutar
arah dan berpapasan dengan pak Iwan.
“
Tidak jadi masuk kelas, Bu Nia?”
“
Jadi pak tapi ada panggilan alam.” Jawabku
Kami
di sekolah sudah mengerti jika mengatakan panggilan alam berarti kami sangat
butuh untuk kekamar mandi. Aku membiarkan bu Nenci dan bu Ria masuk ke kelas
mereka masing – masing baru aku berjalan memasuki kelas yang paling ujung dari
kelas bu Nenci dan bu Ria untuk mengajar. Aku tidak mau mereka tahu, kalau aku
mendengar percakapan mereka tentang aku.
Aku
sadar, selama ini aku tidak terlalu keras melarang mereka untuk tidak memanggil
aku kakak. Aku hanya melarang mereka memanggil kakak di dalam kelas tapi yang
namanya anak – anak masih saja ada yang memanggil aku kakak di dalam kelas.
Akhirnya
aku kena batunya, tidak selamanya yang kita anggap baik akan baik pula di
terima oleh orang – orang di sekiling kita.
Hari
ini aku dipanggil bu Masnah, bu guru senior sekaligus penilai angka kredit ku.
“
Nia, ibu mau bicara sama kamu.” Bu Masnah guru senior di sekolahku memanggil
aku.
Aku
agak berdebar juga karena jarang sekali bu Masnah mau berbicara jika tidak
penting, beliau terkenal dengan pendiamnya. Tapi banyak sekali pelajaran yang
dapat di ambil darinya. Dari hari permata aku mengajar di sini aku sangat
respek dengan beliau ini.
Untuk
urusan disiplim beliau bisa menjadi tauladan, setiap hari datang 20 menit
sebelum lonceng berbunyi, perangkat pembelajaran tidak pernah telat
mengumpulkan. Setiap ada kegiatan yang
berhubungan dengan pendidikan beliau pasti mendukung.
Aku
masih ingat setiap acara perpisahan, biasanya guru – guru senior tidak mau
menjadi panitia dengan alasan yang mudah saja, zaman kita sudah lewat. Kita
jadi penonton saja, selalu itu alasan yang diberikan oleh guru – guru senior
itu tapi tidak dengan bu Masnah. Ibu
Masnah selalu datang melihat kami gladi bersih untuk acara perpisahan,
beliau tidak pernah menolak jika dijadikan panitia. Baik paniata ujian tengah semester (UTS), ujian akhir sekolah
(UAS) maupun ujian kenaikan kelas (UKK). Jabatan yang diberikan juga bukan
jabatan sebagai coordinator ataupun ketua panita, tapi itu tidak menjadi
masalah buat bu Masnah. Beliau berkata
jabatan apapun akan memberikan pengalaman baru yang bisa mengajarkan
kita sesuatu. Sewaktu aku dan beliau
menjadi panitia pengepakan soal – soal ujian akhir sekolah.
Seharusnya
dengan kesenioran dan ditunjuk sebagai tim penilai angka kredit di sekolahku
beliau tidak perlu lagi menjadi panitia kecil dalam ujian sekolahku.
Hari
ini aku dipanggil beliau pasti aku melakukan kesalahan.
“
Ada apa bu?”
Kita
bicara di ruang BK saja ya .”
Aku
mengikuti langkah bu Masnah ke ruang BK yang masih satu ruangan dengan majelis
guru. Hanya di ruang BK ini agak lebih tertutup, jadi pembicaraan tidak akan di
dengar oleh orang lain atau teman – teman guru yang lain.
“
Nia, bisa ibu menasehati kamu.” Bu masnah memandang wajahku dengan wajah
keibuanya membuat aku merasa tidak di hakimi.
Sewaktu
mengikuti beliau ke ruang BK, aku sudah bertanya – tanya apakah aku melakukan
kesalahan. Tidak biasanya ibu Masnah memanggil aku.
Bu
Masnah bukan saja guru senior di sekolahku, beliau juga merupakan Penilai
Kinerja Guru (PKG) aku merupakan salah satu guru yang di nilainya.
“
Apa ya bu, silalakan Nia siap mendengarkan?”
“
Jika Nia berbuat salah silakan ditegur, bu.” Aku berkata kepada bu Masnah
Lama
aku melihat bu Masnah menimbang – nimbang perkataan apa yang mau dibicarakan
kepada ku.
“
Nia, bu mendengar ada beberapa guru yang keberatan siswa – siswa memanggil
kakak untuk Nia.”
“
Nia jangan tersinggung, ibu juga pernah mengalaminya.”
“
Begitulah siswa – siswa, kita tidak bisa mempersalahkan mereka.”
“
Mungkin dengan memanggil Nia kakak mereka merasa lebih nyaman dan mudah
meresapi pelajaran yang kita berikan.”
“
Tidak ada larangan untuk itu sebenarnya, tapi etika yang mewajibkan kita untuk
di panggil Bapak dan Ibu guru di Sekolah.”
“
Nia sudah lumayan lama mengajar, cobalah untuk mengajak siswa – siswa memanggil
ibu guru kepada Nia. “
“ Bu
Nia sudah lumayan lama mengajar, cobalah untuk mengajak siswa – siswa memanggil
ibu guru kepada Nia. “
Panjang
lebar bu Masnah menasehatiku, tapi aku merasa nyaman dengan nasehatnya.
Sebenarnya
aku juga sudah risih dengan panggilan kakak oleh siswa – siswa yang aku ajar.
Tapi mereka susah dikasih tahu ada – ada saja alasan yang mereka berikan.
“
Kak Nia, lebih enak kedegarannya dari memanggil bu Nia.” Kata si Zulkifli siswa
yang selalu mendapat nilai tinggi di setiap ulangan Ekonomi denganku.
“
Kak Nia saja, kayaknya lebih akrab. Panggil ibu kayaknya seram gitu.” Si Ita
memberikan pendapat.
Zulkifli
dan Ita merupakan siswa – siswi yang selalu berlomba mendapatkan nilai terbaik
untuk mata pelajaran yang kuajar.
“
Iya kak Nia, Agus lebih suka memanggil kak Nia dari pada bu Nia.” Kata Agus
siswaku yang lainnya.
Mereka
mempunyai pendapat yang berbeda – beda tentang pendapat memanggil aku kakak
dari pada ibu. Dari sekian siswa yang ku ajar Cuma beberapa orang saja yang
mengatakan panggil Kakak atau Ibu tidak ada perbedaan.
Aku
juga sudah merasa risih jika mereka memanggil aku kakak, beberapa tahun silam
mungkin aku masih santai dipanggil kakak tapi untuk sekarang ini aku lebih
nyaman dipanggil ibu guru.
Aku
tidak mau mencari alasan mengapa mereka harus memanggil aku ibu guru, karena
memang sudah sepantasnya mereka memanggil aku ibu guru karena aku adalah guru
mereka di sekolah.
“
Terima kasih atas nasehatnya bu, Nia akan menyakinkan mereka untuk memanggil
Nia ibu guru.” Aku memeluk bu Masnah sebelum kami keluar dari ruang BK.
Aku
merasa lega, sambil bergurau kami berjalan menuju meja masing – masing.
***
Lonceng
tanda masuk kelas sudah berbunyi, dengan langkah tegap aku berjalan menuju
kelas yang akan aku ajar, dari kejauhan aku sudah mendengar suara mereka selalu
seperti itu, sebelum gurunya masuk kelas tidak akan pernah tenang.
“
Assalamualaikum.’ Aku menyapa mereka sambil langkah masuk ke dalam kelas.
Melihat
sekeliling kelas dan memperhatikan kebersihan kelas, masih ada sampah di sana
sini.
“
Siapa yang piket hari ini, tolong sampahnya dipungut dan dibuang ke tong
sampah.” Perintahku.
“
Nia, Intan, Dwi, Rena dan Krisna yang piket kak.” Serentak mereka bersuara
menyebut nama yang piket.
“
siapa yang memanggil kakak?” dengan nada suara tinggi.
Tidak
ada yang berani menjawab,
“
Sudah berkali – kali saya ingatkan jaga kebersihan kelas, sekolah kita mau
menuju sekolah adiwiyata.”
“
Kalau tidak kita yang menjaga kebersihan lingkungan sekolah kita siapa lagi.”
Suaraku masih dengan nada tinggi.
“
Kalian semua seperti kata pepatah lama, di kasih hati mau jantung. “
“
Ibu!.” Aku sengaja menekankan kata ibu kepada mereka
“
Ibu sudah mengingatkan berkali – kali di dalam kelas panggil saya Ibu.”
“
Mulai hari ini tidak ada yang memanggil saya kakak, baik di luar kelas, ingat
itu .”
Aku
tidak pernah meninggikan suara kepada mereka, jika aku meninggikan suara
berarti aku sudah sangat marah, dan mereka tahu itu.
“
Ingat panggil saya Ibu Nia, mengerti.” Aku mengulang lagi perintah untuk
memanggilku ibu guru.
“
Dwi apa materi terakhir kita pada hari selasa kemaren?”
“
Bidang – bidang akuntansi bu.” Jawab Dwi dengan takut – takut.
“
Bagus, Krisna apa yang dimaksud dengan bidang akuntansi pemasaran?” aku
bertanya kepada Krisna.
Aku
senjaga memberikan pertanyaan kepada siswa – siswa yang selalu memanggil aku
kakak, aku ingin melihat apakah mereka paham dengan perintah yang aku berikan
sambil melatih mereka untuk memanggil aku Ibu.
Bel
tanda jam pelajaranku sudah selesai, sambil mengucapkan salam aku berlalu dari depan
kelas. Keluar dari kelas aku merasa lega, mereka sudah mulai memanggil aku Ibu.
Walaupun
aku tahu pasti ada bisik – bisik di luar sana baik dari guru serta siswa –
siswaku yang akan mengomentari keputusanku, seperti kata pepatah tak ada gading
yang tak retak begitu juga dengan kehidupan semua pasti ada yang suka dan tidak
suka dengan keputusanku.
Yang
suka pasti akan memuji, yang tidak suka pasti akan mencari celah untuk
mencercaku tapi biarlah yang penting mereka telah memanggil aku dengan Ibu
guru.
Mudah
– mudahan mulai hari ini, mereka akan memanggil aku Ibu Nia dari pada kakak
Nia. Ya panggil aku Ibu Guru.(AZ)
Keren sekali ibu...🤗🥰
BalasHapusTerima kasih, masih harus belajar.
HapusSiipp bgt
BalasHapusIlmu dari kelas menulis, terus menulis sambil memperbaiki tulisan biar renyah bu.
HapusMantap bu..luar biasa..
BalasHapusAlhamdulillah, dikelilingi teman-teman di kelas menulis jadi auranya pengen nulis diwaktu senggang. Terima kasih, salam literasi dari Karimun Kepri
BalasHapus